Search This Blog

Tuesday, May 13, 2014

Lelaki Tua dan Laut - Ernest Hemingway

Resensi Buku Lelaki Tua dan Laut - Ernest Hemingway
PERJUANGAN LUAR BIASA SEORANG NELAYAN TUA
Karya Achmad Muchtar


Judul buku: Lelaki Tua dan Laut
Judul asli: The Old Man and the Sea
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Cetakan: II, Juli 2009
Penerbit: Serambi
Tebal: 145 halaman
ISBN: 978-979-024-147-3

Ada lelaki tua, sangat tua dan renta. Dia adalah nelayan di Amerika Tengah. Ada juga seorang anak lelaki. Anak lelaki itu menemani lelaki tua itu berlaayar mencari ikan. Berpuluh-puluh hari mereka tidak mendapatkan apa-apa hingga akhirnhya anak lelaki itu berlayar dengan kapal lain. Lelaki tua itu sendiri. Dia berusaha dengan gigih mencari ikan.

Dia berusaha sekuat sisa-sisa tenaganya untuk mencari ikan. Lelaki tua itu telah berusaha dengan sekuat tenaga hingga ia mendapat ikan yang besarnya hampir setara dengan perahunya. Karena dia berlayar terlalu jauh, rintangan membawa beban berat pun datang silih berganti. Lelaki tua yang malang dan patut dipuji kegigihannya dalam menaklukkan laut.

"Manusia bisa dihancurkan, tapi tak bisa ditaklukkan." (hlm. 113)

resensi buku gramediaSaya sangat suka sekali dengan cerpen ini. Sebuah karya sastra karya Ernest Hemingway yang mendapat Pulitzer Prize. Cerpen (ada juga yang menyebutnya novela karena saking panjangnya untuk sebuah cerpen) ini telah mengantarkan Hemingway kepada puncak ketenaran sebagai salah seorang penulis papan atas Amerika. Menurut para kritikus sastra, inilah karya masterpiece Ernest Hemingway. Berkat popularitasnya pula, telah beberapa kali cerpen ini diangkat ke layar lebar. 

Kebetulan ini adalah novel Ernest Hemingway pertama yang saya baca. Ceritanya ringan, sangat ringan untuk sebuah mahakarya. Namun, di balik keringanannya, novel ini mempunyai alur yang runtut dan cerita perjuangan tak kenal putus asa yang sangat menarik untuk disimak. Rasa simpati saya muncul melalui karakter dari Lelaki Tua.

Dia tak kenal putus asa, selalu optimis, dan selalu melawan walau tubuhnya telah renta. Bertubi-tubi dia disuguhkan pada bahaya dan musuh. Dia tak gentar sedikit pun. Dia terus melawan demi sesuatu yang dia idam-idamkan bersama anak lelaki tua itu. Dia tahu bahwa dengan cara membuktikan bahwa ia bisa menangkap ikan besar, ia akan dapat berlayar lagi dengan anak lelaki itu. Sebuah cerita perjuangan yang sangat menyentuh dan mengharukan. Novel ini sangat bagus dan cocok dibaca oleh semua lapisan dan umur. 

Sumber: 

Sunday, April 6, 2014

Juri Pilihan - John Grisham

MEMASUKI DUNIA PUZZLE YANG SAMAR
Ria Agustina



Judul: Juri Pilihan 
Penuli: John Grisham
Penerbit: Gramedia

Ukuran: 11 x 18 cm
Tebal: 664 halaman
Terbit: Mei 2011
Cover: Softcover
ISBN: 978-979-22-6185-1

"Bagaimana seorang juri yang dipilih secara acak dapat memanipulasi sebuah persidangan besar?"

Ini bukan novel fiksi pertama dari John Grisham yang sudah saya baca, namun dengan tema sistem peradilan AS, bagus juga kalau resensi novel-novel Grisham dimulai dari buku ini, tentang sebuah proses pra-sidang. FYI, John Grisham adalah salah satu penulis novel best seller di Amerika Serikat dengan latar belakang pendidikan hukum dan berprofesi sebagai pengacara dan politisi. Tidak mengherankan jika novel-novelnya menggambarkan dunia hukum & peradilan serta konspirasi-konspirasi di dalamnya dengan sangat detail.

Dalam novel ini seperti biasa Grisham membuka cerita dengan kepingan-kepingan puzzle cerita yang samar. Pertama-tama kita masuk ke situasi pengintaian terhadap hampir dua ratus orang warga sipil yang ternyata terdaftar sebagai calon juri untuk persidangan sebuah kasus perdata gugatan dari seorang janda terhadap sebuah perusahaan rokok ternama. Karena suaminya telah meninggal dunia akibat kanker paru, perusahaan rokok tersebut dianggap bertanggung jawab atas penyakit suaminya yang telah mengisap rokok produksi perusahaan tersebut selama hampir 30 tahun.

Ratusan juri tersebut harus diseleksi hingga akhirnya berjumlah 12 orang ditambah 3 orang juri cadangan. Kedua pihak yang bersengketa dilarang keras melakukan kontak dengan calon juri dan juri terpilih karena dapat mempengaruhi hasil keputusan dan vonis dari para juri nantinya. Akan tetapi pengacara pihak penggugat dan pembela diam-diam mengintai para calon juri dan mengumpulkan informasi selengkapnya untuk mencari tahu identitasnya, pekerjaan, pendidikan, keluarganya, kebiasaannya, apakah ia merokok atau memiliki pengalaman yang berhubungan dengan efek buruk rokok, akun bank dan catatannya di kepolisian, hingga kepribadiannya, tanpa melakukan kontak langsung. Mereka bahkan menyewa grup konsultan juri untuk membaca reaksi, ekspresi, dan gerakan-gerakan kecil yang dilakukan para juri saat prasidang, simpatik atau tidak. Dengan demikian, pada saat penentuan 12 orang juri, mereka bisa memilih juri mana yang kira-kira akan mendukung pihak mereka masing-masing.

Si penggugat, Mrs.Celeste Wood, didampingi oleh biro hukum yang dipimpin oleh Wendall Rohr, seorang pengacara handal yang telah memenangkan beberapa kasus gugatan terhadap perusahaan-perusahaan besar. Selain dibantu oleh puluhan pengacara dengan idealisme yang sama, Rohr juga berhasil menggalang dukungan dari lembaga-lembaga dan para-aktivis antirokok. Sedangkan perusahaan Pynex sebagai tergugat, dibela oleh biro hukum Whitney & Cable & White.

Pynex merupakan satu dari empat perusahaan rokok raksasa yang disebut dengan The Big Four. Mereka mengumpulkan sejumlah dana yang disebut The Fund dan dikelola oleh Rankin Fitch. Kegunaannya untuk membayar sewa pengacara dan membiayai segala cara apapun yang dilakukan Fitch agar dapat memenangkan setiap sidang yang menempatkan mereka sebagai tergugat. Sejauh ini tidak ada sidang perkara gugatan terhadap keempat perusahaan rokok ini yang dimenangkan oleh penggugat.

Di antara para calon juri terdapat seorang pria muda bernama Nicholas Easter, yang dengan tidak-lazimnya tidak dapat ‘dibaca’ oleh kedua tim pengacara, khususnya para informan Fitch. Easter bagaikan manusia yang tiba-tiba muncul dari balik kabut asap atau jatuh dari langit, sangat misterius. Tidak ada yang tahu dengan pasti siapa dia, masa lalunya, dan apakah keberadaannya di boks juri akan menguntungkan atau tidak. Namun karena pilihan calon juri lain juga kurang begitu meyakinkan, Easter pun lolos dengan asumsi ia akan berada di pihak yang netral.

resensi buku, resensi novel, resensi terbaruRangkaian sidang pun dimulai. Fokus novel ini terletak pada kisah para juri dan Rankin Fitch. Pada akhir hari pertama sidang, muncul seorang wanita tidak dikenal yang menghubungi Fitch, mengusik dan mencoba menarik perhatiannya, namun segera menghilang tanpa jejak. Tidak ada yang tahu untuk tujuan apa dan kapan ia akan menghubungi Fitch. Wanita yang mengaku bernama Marlee itu tampaknya tahu tentang keberadaan dan sepak terjang kelompok rahasia Fitch.

Apa hubungan antara Marlee dan Nicholas Easter? Apa hubungan antara kedua orang ini dengan kasus gugatan serupa yang kalah di pengadilan empat tahun yang lalu? Konspirasi apa yang mereka susupkan dalam persidangan ini? Siapa yang akhirnya memenangkan perkara ini? Yang jelas, dengan kecerdikan dan persiapan matang yang telah disusun selama bertahun-tahun, Marlee berhasil meraup keuntungan jutaan dolar setelah sidang berakhir.

Bab awal novel ini diawali dengan sekelumit kisah pengintaian para calon juri yang ternyata kurang konstruktif terhadap keseluruhan isi novel. Selebihnya, John Grisham dengan jenius menjadikan sebuah persidangan besar sebagai kerangka cerita, mengisinya dengan kisah persaingan kedua belah pihak dalam menarik simpati para juri ditambah cara-cara licik dan ilegal yang dilakukan oleh kubu Fitch dengan dibumbui manipulasi-manipulasi kasat mata dan sedikit drama. Bagusnya, Grisham juga menyelipkan hasil riset-riset kedokteran yang membuktikan bahaya rokok terhadap kesehatan. 4 of 5 stars dari saya!

Sumber: Ria Agustina

Maut di Pantai - James Patterson

BUKU YANG BERPOTENSI UNTUK JADI FILM
Yuska Vonita


Judul: Maut di Pantai
Penulis: James Patterson
Penerbit: Gramedia

Ukuran: 11 x 18 cm
Tebal: 464 halaman
Terbit: Mei 2012
Cover: Softcover
ISBN: 978-979-22-8419-5

Ok, pertama tertarik membaca buku Maut di Pantai - James Patterson karena penulisnya. Saya baru membaca sedikit buku karya James Patterson dan saya bertekad untuk membaca lebih banyak lagi karya beliau di tahun mendatang, sekaligus ingin mengurangi timbunan yang semakin menggunung.

Ben Hawkins, mantan detektif dan penulis fiksi yang gagal, banting setir menjadi wartawan kriminal untuk L.A. Times. Jumat malam, ia tiba-tiba diberi tiket pesawat ke Maui untuk menyelidiki kasus hilangnya Kim Daniels. Ben terinspirasi untuk menulis novel lagi dengan mengambil ide dari kasus Kim.

Sementara itu, Kim diculik malam setelah pemotretan untuk majalah pria. Ia mendapati dirinya terikat dan terkurung di dalam bagasi mobil. Ia dibawa ke sebuah tempat terpencil dimana tak ada orang yang bisa mendengar jeritannya. Nasib baik tidak berpihak pada Kim. Ia dibunuh secara sadis oleh pria bertopeng. Pembunuhan Kim direkam dengan video dan disaksikan oleh Horst dan Jan, juga anggota Alliance lain yang menyewa si pembunuh untuk melakukan pembunuhan keji dan direkam oleh video. Si pembunuh diiming-imingi kontrak baru dengan angka yang menggiurkan jika ia berhasil membuat rekaman sensasional dan berhasil memikat The Peepers.

Sementara itu, orang tua Kim, Levon dan Barbara, terkejut bukan kepalang ketika mendapat telepon misterius dari seseorang yang mengatakan bahwa Kim sudah jatuh ke tangan orang jahat. Mereka berdua disarankan untuk segera menyusul Ke Maui.

Dalam keadaan panik, mereka terbang ke Maui tanpa membawa koper. Sesampainya di Wailea Princess, Levon dan Barb dikerubuti wartawan yang memborbardir mereka dengan pertanyaan yang membuat duka mereka semakin dalam. Si pembunuh hadir dalam event tersebut, menyamar sebagai wartawan.

Setelah hilangnya Kim, ada dua perempuan lagi yang mayatnya ditemukan: Rosa, gadis Latin, dan Julia Winkler, teman sekamar Kim di Maui dan juga model Sporting Life.

Ben mendekati Levon dan Barb demi mendapatkan kepercayaan dari mereka. Ia juga bercerita tentang masa lalunya, detektif yang difitnah dan dijebak partner dan atasannya, sehingga ia terpaksa mengundurkan diri dan akhirnya mendapat kolom kriminal di L.A. Times.

Ben dibantu detektif lokal, Eddie Keola, memutar otak untuk mencari si pembunuh. Akhirnya, mayat Kim ditemukan di sebuah kapal sewaan. Tubuh dan kepalanya terpisah.

resensi novel terbaru, resensi buku gramediaDibandingkan Honeymoon, buku ini lebih membuat saya penasaran. Saya hampir tidak mau berhenti membaca. Seru, menegangkan, bikin penasaran dan membuat saya menunggu kejutan di halaman berikutnya.

Saya sangat menikmati buku ini walau agak terganggu dengan beberapa adegan sadis yang membuat saya mual. Aura buku ini maskulin sekali. Adegan berlangsung dengan cepat tanpa basa-basi. Cerita per babnya juga tidak panjang.

Dan yang membuat saya sedikit terkejut adalah, cerita di buku ini sampai masuk ke dalam mimpi saya. Seru, menegangkan, dan membuat saya capek.

Saya merekomendasikan buku ini untuk pecinta thriller. Gara-gara buku ini, tahun depan saya berniat untuk membuat James Patterson Reading Challenge.

Nggak ada produser yang tertarik memfilmkan buku ini ya? Kalau digarap dengan baik, buku ini berpotensi untuk jadi film blockbuster action-thriller.

Sumber: Yuska Vonita

Mata yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari

Resensi Buku Mata yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari
KARENA APA ADANYA SAYA MENYUKAINYA
Rien DJ


Judul: Mata yang Enak Dipandang
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia

Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal: 216 halaman
Terbit: Desember 2013
Cover: Softcover
ISBN: 978-602-03-0045-0

Saat Dion menawarkan buntelan di grup BBI, bertepatan saya membuka FB, sehingga dengan cepat saya dapat memilih buku ini. Jaminan nama pengarangnya membuat saya tak ragu, apalagi covernya yang kuning terang sangat tertangkap mata. Dan tentu saja judulnya yang biasa, berbentuk kalimat utuh, tak berima, dan menurut saya kurang puitis. Tetapi pada dasarnya Ahmad Tohari memang tidak pernah (setahu saya) menulis dengan kata-kata puitis, meliuk-liuk, sebelum sampai pada maksudnya. Ahmad Tohari itu apa adanya, dan karena itulah saya menyukai karya-karyanya.

Kisah pertama yang diberi judul (1) Mata yang Enak Dipandang seketika membuat hati saya tersinggung. Sungguh. Bayangkan saja bagaimana melalui tokoh Marta yang buta, Ahmad Tohari mempermalukan saya, mempermalukan mata saya yang berharga ini sebagai mata yang tak enak dipandang, karena beberapa kali saat naik kereta api merasa lebih nyaman dan berpihak pada peraturan yang melarang para pedagang, pengamen, apalagi pengemis "seperti Marta" berlalu-lalang di lorong kereta. Mata yang tak peduli, karena berada di kereta yang nyaman dan bersih, pada sosok-sosok Marta, yang menyipit saat melihat mereka.

(2) Bila Jebris Ada di Rumah Kami bercerita tentang Jebris, pelacur, yang tinggal di lahan yang sama dengan Ratib, seorang ustadz kampung. Sama seperti Sar, istri Ratib, saya juga deg-degan untuk mengetahui bagaimana pendapat dan sikap Ratib dengan keberadaan Jebris. Cara Ratib memandang persoalan ini menjadi pelajaran buat kita.

Cerpen keempat membuat saya terpaksa mengeluarkan satu kata yang kami tabukan di rumah, yaitu "Gillaaaaaa!" Berkisah tentang orang-orang yang datang ke rumah kita dengan maksud meminta sumbangan, entah untuk yayasan penderita cacat atau menjual barang-barang yang "ngaku"nya hasil buatan para difable. Mereka memang "mungkin" penipu. Tetapi (3) Penipu yang Keempat, penipu yang jelas lebih pandai itu ternyata adalah saya, bisa juga kamu, atau dia! Ahmad Tohari benar-benar membuat saya terperangah sekali lagi karena "kecaman"nya yang dengan semena-mena menelanjangi saya. Gila!

Pada kisah (4) Daruan, pembaca akan tahu kisah seorang penulis yang puluhan karyanya tak juga tembus penerbit. Hingga suatu hari, atas kebaikan sahabatnya, Muji, Daruan akhirnya dapat melihat karyanya dalam bentuk buku. Penulis mana yang tak sumringah saat melihat karyanya akhirnya dibaca orang. Dan tentu saja seiring dengan itu, harapan akan masa depan yang cerah, tak lagi nebeng hidup pada istri akan segera terjadi. Itu mimpi dan harapan Daruan, dan tentu saja Daruan-Daruan yang lain. Saya dapat merasakan euforia Daruan saat menerima bukunya, serupa menimang bayi yang telah dikandungnya berbulan-bulan sengan susah payah, tak jarang harus begadang, lupa mandi, lupa makan, dan akhirnya lahir. Namun semua euforia itu pupus seketika. Harga diri Daruan yang hancur membuat saya harus selalu ingat untuk bernapas. Bukan saja karena bukunya tidak dijual di toko buku bergengsi, tetapi juga ternyata masih utuh di tangan pedagang asongan, menjadi efek paling menyakitkan dari sebuah perjuangan panjang seorang Daruan (penulis).

Lagi-lagi Ahmad Tohari bercerita tentang kekalahan seorang laki-laki (suami). Dalam (5) Warung Penajem, Kartawi, petani dengan secuil lahan, itu mendapat imbas dari obsesi istrinya untuk menjadi orang kaya. Di cerpen ini, saya serasa ikut menjadi pelanggan Jum dan bergosip tentangnya, saking dekatnya tokoh cerita itu dalam kehidupan sehari-hari.

(6) Paman Doblo Merobek Layang-Layang, padahal dia adalah ikon seorang pahlawan di desanya. Jika mereka mengalami kesulitan maka Paman Doblo akan segera turun tangan dengan senyum yang selalu menghias wajahnya. Sayangnya, kalimat "Untung ada Paman Doblo", itu kini harus ditelan dengan susah dan sedih, semenjak Paman Doblo diangkat sebagai satpam di kilang minyak yang baru dibangun.

Ada sebuah kisah tentang seorang yang telah membunuh 99 orang. Dia pun bertobat dan mencari seseorang yang dapat menunjukkan jalan tobatnya. Namun, orang ke-100 ini tidak seperti yang dia harapkan sehingga dibunuhlah orang ini, dan genaplah dia membunuh 100 orang. Dengan penuh kesedihan, orang ini berjalan untuk menemukan seseorang yang dapat menuntunnya pada sebuah pertobatan. Sayangnya, sebelum dia sampai (bertemu) dengan orang alim tersebut, dia meninggal. Saat itulah malaikat rahmat dan malaikat azab berebut. (7) Kang Saripin Ingin Dikebiri, memiliki pesan yang sama. Lelaki paling konyol dan nekat yang mencari jalan keluar atas nafsunya yang tak dapat ditundukkan. Pesannya adalah "jangan sok menjadi panitia penghitung amal!"

Kisah selanjutnya adalah kisah tentang Kasim yang berusaha menyeberang jalan raya untuk menuju secuil sawahnya yang menunggu dipanen. Namun, arus mudik yang padat membuat Kasim harus menahan kesabaran. Berjam-jam dia menunggu kesempatan dari para pemudik yang hendak bersilaturahim dan bermaaf-maafan, untuk menyeberang. Bayangan akan burung pipit yang rakus menuai duluan, membuat Kasim berani melangkah dengan gagah menyeberang jalan raya. Untuk cerpen ini, sayang endingnya kurang menyentak. Mungkin karena terlalu berat muatan kritiknya, sehingga ketika (8) Akhirnya Kasim Menyeberang Jalan jadi terasa kurang menyentuh.

Pada (9) Sayur Bleketupuk, saya merasa mendapat pesan penting dari Ahmad Tohari melalui prasangka Parsih pada suaminya, Kang Dalbun. Janji Kang Dalbun untuk mengajak anak istrinya naik jaran undar, menjadi awal malapetaka di rumah mereka. Tragis.

Setelah kisah tragis tersebab ketidaksabaran dan prasangka Parsih, pada (10) Rusmi Ingin Pulang, sayangnya terasa datar. Ketakutan Kang Hamim akan kepulangan Rusmi, anaknya, yang menurut desas-desus menjadi pelacur di kota, membuatnya harus memastikan pada Pak RT bahwa anaknya diterima di kampung ini. Dan setelah itu memang tak terjadi apa-apa, selain kedatangan Rusmi yang disusul oleh lelaki baik dan tampak kaya.

(11) Dawir, Turah, dan Totol, tiga nama yang "aneh", juga kisah mereka bertiga yang tak kalah mengherankannya. Tiga sosok manusia yang saling mengikatkan diri di antara kardus-kardus bekas dan tempat sampah. Saya hanya bisa mendesah berat mengikuti kisah tiga tokoh ini.

Sementara Dawir, Turah, dan Totol yang tak tahu besok mau makan apa, sebaliknya Kang Narya memiliki (2) Harta Gantungan, berupa kerbau, yang akan digunakan sebagai imbalan untuk mengurus jenazahnya kelak. Trenyuh, yang saya rasakan saat membaca cerpen ini.

Resensi novel terbaru, resensi novel gramedia" ... yang gagah, yang cantik, yang mulus, yang bopeng, sama saja. Di mataku mereka akan segera berubah menjadi tengkorak dan tulang-tulang yang berjalan kian kemari ...." Itulah yang dilihat oleh mata Sardupi. Dia bahkan pernah dihajar oleh Pak Braja, hansip pasar, karena tertawa terbahak-bahak saat diajak bicara hansip itu. Masalahnya Sardupi tidak bisa menahan tawanya karena (13) Pemandangan Perut yang dilihatnya. Mata Sardupi, mata yang dapat melihat perut orang-orang berdasarkan tabiat mereka. Sebuah cerpen religius, dengan gaya supranatural.

Cerpen yang juga sama-sama religius, menampilkan hubungan transedental antara Markatab yang mendapat ucapan (14) Salam dari Para Penyangga Langit.

Berbeda dengan keempat belas cerpen di atas yang terdiri dari 9-10 halaman, di (15) Bulang Kuning Sudah Tenggelam, kita akan disuguhi sebuah novelet yang mengisahkan tentang Ayuning Rahadikusumah, anak angkat seorang bupati terhormat, yang harus menentukan pilihan antara ayah angkat yang telah melimpahinya dengan kasih sayang tak terkira atau Koswara, suami tercintanya. Kisah yang sangat menyentuh bagi kita yang memiliki orang tua yang kukuh tinggal di rumah mereka, sendirian, sementara kita berada nun di sana. Membawa serta mereka tak bisa, sementara kita pun punya sejuta satu alasan jika harus tinggal di rumah orang tua. Sebuah masalah pelik, karena dalam sebuah hadits disebutkan, dengan konteks bebas yang intinya "sungguh terlalu mereka yang tidak masuk surga sedang orang tuanya masih ada di sisi mereka". Sungguh sebuah dilema.

Lima belas cerpen yang saya beri 5 bintang ini tak salah menjadi pilihan saya di antara buku lain yang ditawarkan. Terima kasih telah memilih saya menjadi pemilik Mata yang Enak Dipandang.

Sumber: Rien DJ

Saturday, April 5, 2014

Salad Days - Shelly Salfatira

PESAN ELEGAN DARI SEBUAH BUKU TEENLIT
Dedul Faithful


Judul: Salad Days
Penulis: Shelly Salfatira
Penerbit: Gramedia

Harga: Rp. 38.000
Terbit: Juli 2013
Ukuran: 13.5 x 20
Cover: Softcover

Ini adalah kali pertama saya membaca teenlit GPU. Dan untungnya usia saya belum terlalu tua untuk mengikuti seluruh fitur dalam buku semacam ini. Kisah dalam Salad Days ternyata membuat saya menyadari bahwa tidak selamanya buku berlabel remaja mengedepankan kisah percintaan ala SMA atau anak kuliahan awal, melainkan lebih dari itu di dalam buku ini, semoga juga di buku-buku lainnya, menyimpan pesan tersirat yang elegan, tentang ambisi meraih mimpi, bagaimana cara mempertahankan persahabatan, rela berkorban, dan belajar mempersiapkan masa depan.

Dalam buku Salad Days, Shelly Salfatira sebagai dalang di balik alur cerita, menghadirkan sosok Azmarie Greta alias Greta, seorang gadis energik pencinta olahraga basket yang cantik, pintar, dan istimewa karena sikapnya yang rendah hati, tidak pernah menampakkan kekayaannya. Terlalu unbeliveable, atau too good to be true, namun untungnya Shelly Salfatira berhasil menghasilkan karakter yang mendekati 'dewa' itu menjadi manusia seutuhnya kala konflik mulai bergulir dan kepentingan masing-masing karakter bertabrakan satu sama lain.

Victoria Hanna alias Hanna adalah satu-satunya sahabat perempuan Greta di sekolah, dia adalah teman yang sangat Greta percaya, sedangkan teman tim basket Greta yang lain tak terlalu dekat dengan Greta meski team work mereka solid, dan tentu saja tak terlalu disorot dalam buku ini. Sikap Hanna yang kontras dengan Greta membuat Hanna menjadi seperti potongan puzzle yang dapat klop dengan Greta. Hanna digambarkan sebagai gadis manis yang tingginya lebih pendek dari Greta, pemalu, introvert, dan meskipun tak secerdas Greta dia mampu menjadi teman yang setia bagi Greta. Namun, siapa yang sangka masalah beruntun akan terjadi karena Hanna? Setelah kehadiran murid baru bernama Dirga.

Dirga pun salah satu sosok yang digambarkan penuh kesempurnaan, teknik 'too good to be true' kembali muncul di sini. Digambarkanlah sosok Dirga sebagai cowok kharismatik, dingin, jago basket, tinggi, putih, dan kaum jetset. Serupa dengan tokoh Patrick, namun sikap Patrick yang lebih extrovert tetapi cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan, menegaskan bahwa dirinya memang berbeda dengan Dirga. Sedangkan Boy, adalah teman tapi mesranya Greta, namun yang membuatnya unik adalah dia pendek namun kualitas permainan basketnya super. Dan yang paling penting adalah tingkat kejailannya yang selevel dengan Greta.

Masalah terjadi saat Greta sudah memendam rasa kesal saat pertemuan kali pertama dengan Dirga. Dan kekesalan berkali-kali muncul saat Dirga direkrut oleh Patrick dan Boy masuk tim inti basket. Namun, puncaknya adalah saat Dirga mengambil perhatian Hanna, yang notabene sahabat lengket Greta, dia satu-satunya tokoh dalam buku ini yang bukan anggota eskul basket.

Benci berubah cinta, cinta segitiga, cinta diam-diam, teman tapi mesra, semuanya komplit ada dalam buku ini. Dengan penuturan yang pas plus cerita berjalan lewat berbagai sudut pandang sekaligus, teenlit ini seolah-olah menampakkan nuansa yang berbeda, sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai buku remaja berkualitas. Saya memang tidak sedang membuat citra teenlit ini melambung, namun memang benar adanya ketika saya sampai di akhir halaman buku ini, ending-nya tidak terduga sama sekali. Melengkapi semua poin-poin excelent yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Resensi buku terbaru, resensi buku best seller,

Ketika plot cerita buku teenlit ini mengalami pengembangan ide yang cukup menarik, saya sadar buku ini diolah dengan matang. Greta yang semula benci jadi cinta pada Dirga, mungkin itu pengembangan plot yang pasaran, namun bagaimana jika Dirga pun mencintai Greta? Lalu, Hanna yang tidak peka pada rasa cinta Greta, ia menganggap Greta tak punya hubungan apa-apa dengan Dirga. Sedangkan Dirga, sebagai cowok yang masih punya belas kasihan, ia selalu membuat Hanna tampak spesial, karena ternyata Hannah adalah teman masa kecilnya. Dan hal itu adalah hal yang membuat Greta kecewa saat Dirga dan Hanna tak kunjung berbicara jujur. Pada akhirnya semua tokoh menelan pil pahit, bahkan Patrick yang juga menaruh perasaan pada Greta, ia tidak dapat meraihnya walau jemarinya saja, sedangkan Boy tetap dengan status 'teman tapi mesranya' Greta. Namun, tenang saja, itu bukan akhir dalam buku ini.

Saya merasa sangat puas membeli teenlit GPU satu ini. Menumbuhkan niat untuk membeli yang lainnya, dalam genre yang sama. Karena buku Salad Days tak melulu seputar patah hati, cinta diam-diam, cinta segitiga, dan meraih cita-cita, namun segala hal seputar basket menjadi background besar dalam tiap detail diksi yang termaktub dalam Salad Days. Mengingatkan saya pada FTV Lovasket, yang lagi-lagi membuat saya tercengang karena memang FTV itu diadaptasi dari teenlit GPU, meski saya belum pernah baca.

Semoga GPU tetap akan menerbitkan buku-buku semacam ini. Karena buku-buku semacam ini sepertinya sungguh memberikan pesan inspiratif yang tak menggurui dalam bingkai warna-warni remaja yang rasanya beraneka ragam dan tentu saja tak menjemukan. Melengkapi khasanah sastra Indonesia yang patut untuk tak dilewatkan eksistensinya.

Sumber: Dedul Faithful (via Gramedia)

The Cuckoo's Calling - Robert Galbraith aka J.K. Rowling



MEMBEBASKAN PIKIRAN DARI BELENGGU NAMA
Raiyaroof

Judul: The Cuckoo's Calling
Penulis: Roberth Galbraith
Penerbit: Gramedia

Harga: Rp. 99.000
Terbit: Desember 2013
Ukuran: 15 x 23
Tebal: halaman
Cover: Softcover


Di novel terbarunya ini, J.K. Rowling menggunakan nama samaran Robert Galbraith. Ini manuver yang brilian mengingat namanya yang lekat dengan seri Harry Potter. Dengan Jo menggunakan nama alias, pembaca The Cuckoo’s Calling terbebas dari hasrat untuk membanding-bandingkan buku ini dengan Harry Potter, seperti yang terjadi pada Casual Vacancy (nasib malang untuk Casual Vacancy). Tapi, sebenarnya Jo menggunakan nama samaran lebih karena dia merasa dirinya seperti laki-laki ketika menulis The Cuckoo’s Calling. Dan Jo mengejawantahkan hal ini sebagai kalimat terakhir dalam cerita, “...Aku menjelma sebuah nama.” Mungkin nama ini merepresentasikan bagaimana dia ingin menulis.

The Cuckoo’s Calling adalah novel bergenre kriminal. Cerita diawali dengan kematian seorang supermodel terkenal bernama Lula Landry. Lula dianggap melakukan bunuh diri mengingat sejarah kehidupan glamornya yang pilu ditambah dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang aneh di sekitar tempat kejadian kematiannya. Namun kakak Lula, John Bristow, tak begitu yakin. John menghubungi detektif swasta, Cormoran Strike, untuk menemukan pembunuh Lula. Ia amat sangat yakin bahwa sosok seperti adiknya tidak mungkin melakukan bunuh diri. Mana yang benar?

Sang detektif, yang mantan anggota militer, awalnya sangsi kepada John karena semua bukti mengarah kepada kenyataan bahwa Lula memang bunuh diri. Namun Strike menerima kasus tersebut. Dibantu dengan sekretaris temporernya, Robin Ellacot, Strike mendalami kematian Lula yang akhirnya membawanya masuk semakin dalam ke kehidupan glamor dan rapuh Lula Landry.

Hanya sedikit novel yang benar-benar bisa mengunci perhatian saya (sedap!). Dan bagi saya, novel ini bukan peak dari bacaan-bacaan saya sepanjang tahun 2013 (kayak-kayak sering banget baca). Kekuatan novel ini ada pada penokohannya, bukan ceritanya. Sebenarnya, ide ceritanya simple. Plotnya sangat mudah anda duga untuk sebuah novel dengan subjek tentang detektif. Namun, Jo berhasil menciptakan karakter-karakter yang kuat dan emosional.

Siapa yang nggak terpikat dengan sosok Robin yang cerdas tapi penuh kegalauan. Sebenarnya dia sudah bertunangan, tapi rasa tertariknya pada dunia detektif (dan si detektif sendiri) membuatnya bimbang apakah dia harus tetap bertahan dengan gaji yang tak memuaskan ditambah ketidaksetujuan sang tunangan atau pindah ke pekerjaan lain yang membosankan dengan gaji memadai. Atau, si jagoan Strike yang meskipun digambarkan sebagai sosok tangguh mantan militer dengan cacat fisik akibat perang, tetapi memiliki emosi labil yang diakibatkan luka dari sang mantan kekasih dan pencapaian hidupnya yang menyedihkan di usia tiga puluhan. Atau teman-teman Lula, Guy Somé dan Ciara Porter, yang hidup dalam dunia glamor dengan gaya eksentrik yang mendamba sosok mendominasi di ranjang. Atau, Lula sendiri. Yang meskipun fakta mengungkapkan lain, tetapi ia memiliki segala kecenderungan untuk bunuh diri. Dan karakter-karakter lainnya, yang tetap diciptakan Jo dengan sangat personal. Mungkin inilah yang menjadi daya pikat buku ini, sosok-sosok labil yang menjadi tren generasi kita (kita?!!) saat ini, galau-galau gimana gitu.

Kekuatan cerita tidak begitu signifikan dalam buku ini. Rasanya cliché, mainstream untuk sebuah novel detektif. Namun begitu, interogasi Strike dalam menggali informasi dari setiap orang yang mungkin terlibat sangat memikat, karena kamu benar-benar akan merasakan perubahan atmosfer dari setiap tokoh yang berbeda. Sayangnya, ada beberapa adegan yang bakal aneh kalau kamu membayangkannya secara nyata. Ada dialog yang terlalu panjang (terutama di akhir). Dan, ada adegan yang mungkin bisa dikategorikan nekat luar biasa, yang mungkin diciptakan Jo untuk seolah mendobrak kebuntuan cerita (yaitu adegan menghambur tiba-tiba dalam kantor seseorang). Namun demikian, keseluruhan cerita tetap memikat dalam kadar yang standar. Plot-plot ceritanya saling mengunci dengan logika dingin yang cermat. Keakuratan analisis Strike (yang dalam hal ini adalah kemampuan Jo mendesain perkara) patut diacungi jempol, karena bukti-bukti kejadian akan berhamburan di sepanjang cerita. Kalau anda tekun mencatat semua bukti seperti yang dilakukan Strike, mungkin anda bisa pecahkan sendiri sebelum novel selesai dengan sedikit analisis. Karena saya nggak mengingat semua bukti, sebenarnya agak takjub dengan ending cerita, dengan banyak sentakan “oh iya” (sambil membolak-balik beberapa halaman ke belakang mencari ceceran bukti) selama Strike menjelaskan dengan runtut semua kejadian dan bukti yang memberatkan.

Secara keseluruhan, novel ini bolehlah mengisi akhir tahun anda (versi aslinya sebenarnya rilis bulan April). Ceritanya memang standar, tapi anda mungkin terpikat dengan karakter-karakter labil emosi di dalamnya. Sebenarnya saya lebih tertarik pada apakah akhirnya Robin meninggalkan Matthew, tunangannya, dan malah jatuh ke pelukan Strike (tapi ini bukan sinetron menye-menye Indonesia, kan?). Juga lebih mengasyikkan ketika Strike dan Robin sedang mendiskusikan kasus dengan keduanya saling menyimpan rasa ingin tahu yang terpendam satu sama lain. Sedangkan kisah pemecahan kasus pembunuhan (yang mungkin bunuh diri) Lula Landry lebih seperti “oh ya, saya jelas akan dapat cerita ini kan, tapi bonusnya lebih oke”. Logika cerita tetap jempol, seperti yang selalu dilakukan Jo pada novel-novel sebelumnya.

Terakhir, saya heran kenapa judul novel ini diterjemahkan menjadi Dekut Burung Kukuk. Nggak tahu juga bagaimana seharusnya judul itu diterjemahkan, tapi Cuckoo seharusnya sama sekali tidak diterjemahkan menjadi burung kukuk.

Sumber: Raiyaroof (via Gramedia)

Bumi - Tere Liye



KETIKA FANTASI MENJADI SEDEKAT REALITA
Blossombatman


Judul: Bumi
Penulis: Tere Liye
Harga: RP. 65.000

Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal: 440 halaman
Terbit: Januari 2014
Cover: Softcover
ISBN: 978-602-03-0112-9
No Produk: 31201140003


“Namaku, Raib. Dan aku bisa menghilang.”

Terus terang saya bukan penikmat cerita bergenre fantasi. Bagi saya, kemungkinan manusia hidup berdampingan dengan alien, mahluk halus, mesin waktu, dunia paralel, merupakan hal yang absurd dan sulit diterima nalar. Selain itu, kebanyakan kisah fantasi yang pernah saya baca memiliki setting luar negeri ataupun tokoh yang agak kebarat-baratan, meskipun buku tersebut ditulis oleh pengarang Indonesia. Sehingga sulit bagi saya untuk mengimajinasikan bahwa hal – hal fantasi tersebut bisa saja terjadi saat ini, terjadi di dekat saya.

Namun Tere Liye, melalui buku BUMI ini bisa meyakinkan saya bahwa cerita fantasi bisa dibawa sedekat mungkin dengan realitas yang ada. Buku ini berkisah mengenai Raib, gadis ceria berumur 15 tahun yang duduk di kelas sepuluh. Kehidupan keluarga Raib cukup harmonis, sekolahnya menyenangkan, dan yang terpenting: dia bisa menghilang. Raib memiliki teman sebangku bernama Seli. Kadangkala dia dan Seli diganggu seorang murid lelaki iseng namun jenius bernama Ali. Tidak ada yang mengetahui mengenai kemampuan Raib untuk menghilang, bahkan orang tua Raib sekalipun.

Hingga suatu kecelakaan di sekolah secara tidak sengaja membuat Raib menunjukkan kemampuannya di depan Seli dan Ali. Kecelakaan tersebut juga membuat Raib, Seli dan Ali harus berhadapan dengan orang – orang yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. Orang – orang yang memiliki kemampuan menakjubkan seperti Raib. Orang – orang yang mengetahui asal-usul Raib yang sebenarnya, asal-usul yang bahkan tidak diketahui oleh Raib sebelumnya. Orang-orang yang harus dihentikan ambisinya agar tidak menghancurkan bumi ini. Raib, Seli dan Ali mengalami petualang seru sekaligus berbahaya, yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.


“Kita berada di tempat yang sama, tapi dengan sekeliling yang berbeda. Bahkan orang – orang yang berbeda.” ~Ali (halaman 210)

“Dunia yang kita tinggali memang tidak sesederhana yang kita lihat..... Ada empat kehidupan yang berjalan secara serempak di atas planet ini.” ~ Av (halaman. 246)

Ya, buku ini memang bukan sekedar kisah mengenai Raib yang memiliki kemampuan menghilang. Lebih dari itu, dengan diksi – diksi yang mudah dicerna, buku ini mampu memaparkan secara sederhana fenomena mengenai dunia paralel yang (bagi saya) rumit.

Selain plot dan bahasa yang mudah dicerna, kekuatan dari buku ini adalah karakter – karakternya yang menarik. Cerita ini dibangun diatas setting lokal yang saya anggap merupakan gambaran dari Indonesia, lingkungan yang sehari – hari saya tinggali. Karakter-karakter utamanya diberi nama yang cukup Indonesia. Mereka juga mewakili keseharian remaja – remaja Indonesia, yang berangkat sekolah naik angkot, yang jajan bakso kala istirahat, yang disetrap berdiri diluar kelas karena tidak membuat peer. Karakter yang bermuatan lokal tersebut membuat saya merasa terhubung dengan mereka, dan pada akhirnya membuat saya bisa menikmati petualangan mereka, dan secara keseluruhan menikmati cerita fantasi yang biasanya tidak saya sukai.


“Kamu baru saja membuktikan teori ikan buntal, Ali..... ketika terdesak, panik, seekor ikan buntal akan menggelembung besar, berkali lipat ukuran aslinya, duri-durinya berdiri tajam. Ikan buntal mewarisi gen spesial itu. Kekuatan spesial.” ~Raib (halaman 435)

“Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga.” ~Miss Keriting (halaman 85)

Buku ini layak dibaca, bahkan bagi yang tidak menyukai teori – teori rumit dunia paralel dan perebutan kekuasaan. Buku ini mengalir ringan. Nampaknya buku ini akan memiliki sekuel, karena pada sampul belakang terdapat kalimat ‘Buku pertama dari serial “BUMI”. Saya penasaran ingin segera membaca serial berikutnya.

Sumber: Blossombatman (via Gramedia)

Little Stories - Adeste, Rinrin, Vera, Faye, Rieke



LITTLE STORIES
Rina Susanti


Judul: Little Stories
Penulis: Adeste Adipriyanti, Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Faye Yolody, Rieke Saraswati

Rp. 55.000,-
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 264 halaman
Terbit: Februari 2014
Cover: Softcover
ISBN: 978-602-03-0190-7
No Produk: 40101140017

Tidak seperti kumpulan cerpen pada umumnya yang ditulis oleh lebih dari dua penulis, cerita satu sama lain biasanya diikat dalam satu tema. Kumpulan cerpen berjudul Little Stories ini terdiri dari 20 cerita dengan beragam tema dan walaupun tema cinta mendominasi, cerita cinta yang diangkat tidak hanya hubungan antara lelaki dan perempuan dewasa.

Salah satu kisah cinta yang menyentuh ada dalam cerita yang berjudul Berdua Saja. Kisah kasih dan sayang antara seorang anak dan ayahnya. Di mana seorang anak menolak secara halus keinginan ayahnya untuk menikah lagi.

“Aku lebih suka berdua saja,” kata Niko pelan.

Ahok tertegun. Mata sipitnya menelusuri wajah mungil yang menengah di depannya. Di gesernya naik gagang kacamata wajah Niko sembari menghela nafas (hal 223).

Ikatan cinta seorang anak dan bapaknya bisa juga di temui dalam cerpen Semangkuk Baso Tahu mengenai, kisah seorang anak yang ingin membahagiakan bapaknya dengan semangkuk baso tahu. Cerpen yang ditulis Orin.


“Nanti Ujang lihat dulu ya, Pak. Kalau jualan, Ujang beliin Bapak Bakso tahu.” Bapak tertawa hingga batuk berikutnya menghentikan kekehan itu.

“Nuhun nya, Jang. Mudah-mudahan weh si Mang Iyan jualan hari ini mah.”

“Iya, Pak.” Aku berdoa tulus, tetapi untuk alasan lain. Karena sebetulnya Mang Iyan tak penah tidak jualan. Karena sebetulnya bermangkuk-mangkuk bakso tahu selalu tersedia di warungnya. Karena sebetulnya aku yang memilih berbohong pada Bapak... (hal 65)

Cerita berjudul Brongkos Mertua adalah kisah yang mungkin banyak dialami pasangan muda perkotaan, cinta yang dibumbui dengan ‘perseteruan’ antara menantu dan mertua. Gelar tidak bisa dipisahkan dari bronkos maka kunjungan setiap dua minggu ke rumah Ibunya untuk menyantap bronkos adalah agenda wajib. Pada setiap kunjungan itu pula Ibu akan menyindir istri Gelar.


‘Wanita zaman sekarang lebih senang buang duit suami di mal ketimbang meracik bumbu di rumah. Mana mau tangannya tergores pisau, kebledosan minyak, matanya pedas ngupas bawang merah, atau kecocol cabe. Nggak gampang lhop cari calon menantu yang mumpuni di dapur.’ (hal 45).

Dengan alasan itu dan atas saran Gelar, akhirnya istrinya belajar membuat brongkos pada mertua dan itu bukan hal mudah terlebih ia tidak terbiasa di dapur. Dapur jadi semacam medan perang (hal 50 )Bisa dikatakan bukan ide cerita yang baru. Namun penulis berhasil membuatnya terasa beda karena penulisan tempat adegan cerita berlangsung cukup detail dan alur yang runut.

Cerita yang tak kalah menarik adalah cerita berjudul Gohu Buat Ina, ide ceritanya unik dan cerita tuntas dalam adegan percakapan yang mungkin kurang dari satu jam bertempat di dapur saat Ina dan Andine membuat Gohu. Tentang bagaimana Gohu – semacam rujak pepaya mengkal dengan bumbu bakasang (terasi khas menado) – membuat Ina bersuka cita memakannya karena ia tengah hamil muda, namun terasa pahit bagi Andine karena saat itu Gohu mengingatkan pada masa lalunya yang buram dan terasa keji.

Gohu Buat Ina adalah cerita yang paling saya suka, ‘sense’ nya kerasa banget, natural plus gaya penceritaannya yang unik alias jarang.

Kumpulan cerita ini ditulis lima penulis perempuan yang mungkin namanya masih asing untuk para penggemar fiksi, namun kebolehan mereka menulis bisa dilihat dari gaya penceritaan yang berbeda dari cerita-cerita metropop pada umumnya. Detail tempat yang dituliskan dengan baik, sudut pandang penceritaan baru dan ada beberapa cerpen dengan ide yang tidak biasa dalam ranah cerita pendek metropop tanah air. Seperti dalam cerita yang berjudul Nama Untuk Raka (hal 200) dan Pasien (228), namun masuk akal jika terjadi dalam kehidupan nyata.

Kalau biasanya fiksi yang dilabeli genre metropop mengisahkan cerita dengan latar belakang kelas menengah perkotaan maka dalam kumpulan cerpen ini merangkum banyak sisi kehidupan kota besar. Kisah perantauan yang hidup dalam rumah- rumah kontrakan berukuran 3x3, penggusuran lahan, demonstrasi, stres, depresi yang seperti menjadi wabah baru di kalangan menengah masyarakat perkotaan, dan cerita dengan tokoh utama peranakan Tionghoa yang tetap lekat dengan budaya dan tradisi di tengah gempuran moderisasi, seperti dalam cerpen Bakcang Terakhir (hal 32), yang bercerita mengenai reinkarnasi.

Kelima penulis berbakat ini ‘ditemukan’ Maggie Tiojakin, seorang penulis yang karyanya diperhitungkan di dunia kepenulisan fiksi tanah air. Maggie membekali dengan kursus menulis kreatif sebelum kelima penulis ini berembuk untuk membukukan tulisan-tulisan mereka.

Tak heran jika penyusunan buku yang terdiri dari empat bab ini didasarkan pada katagori latihan menulis. Bab 1 bertema kuliner, bab 2 bertema demonstrasi, bab 3 cerita dengan basis prompter yaitu dengan kalimat pembuka cerita yang sudah di tentukan dan bab terakhir cerita dengan tema bebas. Setiap penulis menulis satu cerita pada setiap bab. Buku ini cocok juga dibaca orang yang tertarik belajar menulis fiksi khususnya cerita pendek seperti bagaimana menemukan ide, bagaimana sebuah ide bisa menjadi banyak cerita dan tema.

Sumber: Rina Susanti (via Gramedia)

Malam Karnaval Berdarah (Lexie Xu)




MALAM KARNAVAL BERDARAH
Erison



Judul: Malam Karnaval Berdarah
Penulis: Lexie Xu

Harga: Rp. 75.000
Terbit: Februari 2014
Ukuran: 13.5 x 20
Tebal: halaman
Cover: Softcover

Setelah Johan Series yang sukses, Lexie Xu hadir kembali dengan Omen Series, dan buku yang akan dibahas adalah buku terbaru dari Omen Series, yaitu buku ke-4 berjudul Malam Karnaval Berdarah. Lexie Xu adalah penulis yang sangat produktif dengan jarak terbit antar buku karyanya yang tidak terpaut jauh. Bukan berarti kualitas ceritanya jelek—tentu saja. Sejak Obsesi diterbitkan, saya sudah menobatkan diri sebagai salah seorang dari Lexsychopaths—nama fans club Lexie Xu. Setiap ada novel yang memejeng nama Lexie Xu di depan kover, tanpa baca sinopsis, sudah saya sambar saja dari rak. Untuk kali ini, saya merasa kecewa dengan eksekusi dari Malam Karnaval Berdarah. Jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya, memang Malam Karnaval Berdarah yang paling lemah—namun, sekali lagi, bukan berarti jelek, cukup memuaskan malahan. Namun, saya berekspetasi lebih dari apa yang disajikan. Masih terlalu dini untuk menghakimi, karena Omen Series akan berakhir hingga buku ke-7. Well, let’s see.


Malam Karnaval Berdarah kali ini tidak menggunakan point of view dari Erika maupun Valeria, tetapi Rima “Sadako” Hujan dan love interest-nya Daniel Yusman—yang tentunya memberi warna baru terhadap jalannya seri thriller ini. Sesuai dengan judulnya, cerita berawal dengan rencana karyawisata yang akan dilakukan pada tahun ajaran baru untuk pertama kalinya. Memegang jabatan sebagai Ketua OSIS yang baru, Rima tentu saja kebagian untuk mengurus hal ini—dengan Daniel bercokol sebagai Wakil Ketua OSIS. Saat rapat berlangsung, Rima mengajukan usul untuk mengadakan karnaval saja—yang disambut patuh oleh anggota OSIS lainnya. Sayangnya, belum apa-apa, Putri Badai, Hakim Tertinggi The Judges, menerima surat ancaman dari kelompok yang menamai diri sebagai Kelompok Radikal Anti-Judges dengan inti bahwa susunan keanggotaan OSIS harus di-vote ulang karena disinyalir adanya manipulasi suara. Jika tidak, maka sesuatu akan terjadi ketika malam karnaval berlangsung. Persiapan demi persiapan dilakukan Rima—beserta Daniel—meskipun Rima lebih banyak bekerja sendiri. Sampai pada hari-H. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Wahana-wahana yang disediakan juga sudah di-cek dan dioperasikan sebelum karnaval dibuka. Di tengah-tengah karnaval yang sedang meriah dan ramai, sebuah teriakan kencang terdengar dari toilet umum wanita. Satu korban. Korban ditemukan pingsan dengan wajah dirias seperti badut. Tomat ditemplokkan di hidung. Tidak hanya sampai di situ, tubuh korban juga disayat-sayat dengan kejam. Rima mulai khawatir akan terwujudnya ancaman dari Kelompok Radikal Anti-Judges itu. Dengan waktu yang terus berjalan, Rima, Daniel, Putri, beserta konco-konconya berpacu melawan waktu untuk menguak siapa pelaku perbuatan jahanam itu—sementara konflik-konflik lainnya makin mencuat ke permukaan.

Seru sekali mengikuti penyelidikan kasus keempat yang penuh tanda tanya dan petunjuk yang menjebak. Sayangnya, hal itu baru terjadi saat cerita mulai memasuki pembukaan karnaval. Bagian sebelum pembukaan karnaval terkesan diulur dalam mengembangkan kisah romantis antara Rima dan Daniel. Untung di tengah kisah romantis Rima dan Daniel, mulai ditebar misteri-misteri pembuka. Harus diakui, penggunaan sudut pandang yang dibebankan kepada Rima dan Daniel memberikan warna tersendiri. Kita menjadi tahu jauh lebih dalam seluk-beluk cara pemikiran dan kepribadian dari Rima yang unik. Dan juga sisi lain dari Daniel yang kocak, terkadang menyebalkan, sekaligus romantis dan bertanggung jawab. Sayangnya, saya kadang tidak mampu membedakan saya sedang membaca narasi dari Rima atau Daniel. Di bagian awal, saya dapat membedakannya. Namun, semakin lama, saya mulai tidak dapat membedakannya. Saya masih ingat di Teror, novel pamungkas dari Johan Series, dengan begitu banyaknya karakter yang ikut bercerita, Lexie Xu berhasil memberikan ciri khusus tersendiri dalam setiap narasi tokoh yang ada. Tidak seperti novel-novel Omen Series sebelumnya yang membuat saya terpingkal-pingkal dengan narasi dari Erika dengan kepribadiannya yang blak-blakan dan nyeleneh, serta membuat cerita menjadi “penuh”, saya tidak merasakan itu dalam Malam Karnaval Berdarah. Flat. Mungkin itu kata yang tepat. Peralihan sudut pandang dari Erika dan Valeria ke Rima dan Daniel sebenarnya bukan tindakan yang salah. Hanya saja, jika ditilik lebih dalam, kepribadian Rima dan Daniel tidak terlalu jauh berbeda, sehingga tidak terdapat kesan “berbeda”-nya.

Kasus yang menjadi fokus utama pun tidak seseru dan semenegangkan dari 3 pendahulunya. Namun, Lexie Xu kembali—dan selalu—berhasil menyajikan cerita thriller yang membangkitkan rasa penasaran untuk segera membalik halaman hingga halaman terakhir untuk mengetahui siapa pelakunya. Konflik-konflik internal yang muncul juga makin menyemarakkan cerita—dengan twist-twist yang sama sekali tak terduga yang ikutan nongol. Ditambah dengan kehadiran Ajun Inspektur Lukas dengan sosok polisi tegas nan jenaka. Satu lagi, pesan moral yang terkandung dalam cerita yang selalu saya temukan dalam setiap novel Lexie Xu. Jangan lupakan juga kisah romantis antara Rima dan Daniel yang so sweet dan membuat kita ber-ooooohhhhh sekaligus mencak-mencak dan geregetan sendiri.

Suasana yang memacu adrenalin hanya saya rasakan sedikit di sini. Saya masih menjadi penggemar berat dari kekerasan dan pertarungan yang disajikan dalam Omen #1 yang berhasil membuat saya melebarkan mata dan gigit kuku jari—tangan, tentunya, bukan kaki dong. Namun, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada dalam Malam Karnaval Berdarah (termasuk juga typo yang jumlahnya tidak terlalu banyak), saya sangat menikmati dan menyukai cerita yang ditawarkan Lexie Xu. Selain Erika Guruh, sepertinya saya juga sudah menjadi penggemar dari Rima Hujan. Aah, sulit sekali untuk tidak menjadi penggemar dari Rima Hujan.

Malam Karnaval Berdarah sejujurnya tidak terlalu mengecewakan dengan cerita yang menguak latar belakang tokoh baru untuk membuat kita bersimpati sekalian sebagai jembatan untuk kisah berikutnya, adegan-adegan romantis antara Rima dan Daniel, dan berhasil membuat saya merasakan perasaan “kosong” setelah menuntaskan buku ini.

Way calmer dan terasa flat di beberapa bab, tetapi proses penyelidikan kasus keempat ini dan rahasia-rahasia apa yang terkuak dalam Malam Karnaval Berdarah dari para tokoh, serta kisah romantis Rima-Daniel tentu sama sekali tak boleh dilewatkan begitu saja. Oh, Omen #5, see you as soon as possible!

Sumber: Erison (Gramedia)

Laskar Pelangi - Andrea Hirata



KISAH HEROIK 11 ANAK BELITONG
Dinova Putra


Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2008
Tebal : XVIII + 534 Halaman 20,5

Ini adalah kisah heroik kenangan 11 anak Belitong yang tergabung dalam "Laskar Pelangi": Syahdan, Lintang, Kucai, Samson, A Kiong, Sahara, Trapani, Harun, Mahar, Flo dan sang penutur cerita – Ikal. Andrea Hirata, yang tak lain adalah Ikal, dengan cerdas mengajak pembaca mengikuti tamasya nostalgia masa kanak-kanak di pedalaman Belitong yang berada dalam kehidupan kontras: kaya dengan tambang timah, tapi rakyatnya tetap miskin dalam kesehariannya.

Ini adalah cerita tentang semangat juang menyala-nyala dari anak-anak kampung Belitong untuk mengubah nasib melalui sekolah, yang harus mereka dapat dengan terengah-engah. Sebagian besar orang tua mereka lebih suka melihat anak-anaknya bekerja membantu orang tua di ladang, atau bekerja menjadi buruh kasar di PN Timah, daripada sekolah yang tak jelas masa depannya.

Derita sekolah itu tergambar jelas ketika SD Muhammadiyah di kampung miskin itu terancam tutup kalau murid baru sekolah itu tidak mencapai 10 orang. kesebelas anak itulah yang telah menyelamatkan masa depan suar pendidikan yang hampir redup digilas ekonomi.

Kesebalas anak itu memiliki keunikan masing-masing. Diantara 11 anak Laskar Pelangi itu, Lintang dan Mahar adalah 2 diantara yang paling menonjol. Lintang jenius dalam bidang eksakta, Mahar ahli di bidang seni budaya. Mereka seolah mewakili otak kanan dan otak kiri manusia. Lintang memiliki semangat juang yang tiada tara dalam belajar. Dia rela menempuh perjalanan dengan kereta angin sejauh 80 km pergi pulang demi dapat memuaskan dahaga ilmu pegetahuan. Saking semangatnya hingga akan tercium karet terbakar dari sepatunya yang aus digerus pedal sepeda. Jika ada aral melintang di jalan dan terlambat sampai sekolah, tiada masalah baginya, asal dapat menyanyikan lagu "Padamu Negeri" pada akhir jam pelajaran.

Novel Laskar Pelangi penuh dengan taburan wawasan yang luas bak samudra dari penulisnya yang paham betul tentang ilmu eksakta, seni budaya, dan humaniora. Kita akan dibuat tersenyum geli dari humor kecil yang dilontarkannya, terharu dan bahkan menangis ketika membaca kisah heroik kesebelas anak Laskar Pelangi.

Filicium adalah pohon yang menjadi saksi seluruh drama kehidupan Laskar Pelangi. Pohon itu menaungi sekolah mereka yang hampir roboh. Pohon itu menjadi markas setiap pertemuan mereka: membicarakan soal-soal di sekolah, merancang karya untuk festival 17 Agustus, atau tempat Lintang memberi kuliah tentang ilmu fisika. Pohon itu pulalah yang menjadi saksi kerinduan Ikal pada gadis manis keturunan cina, anak pemillik toko Sinar Harapan yang memiliki jari lentik dan kuku cantik.

Anak-anak Laskar Pelangi itu hidup dalam kebahagiaan masa kecil dan menyimpan mimpi masing-masing untuk hari esok. Tapi siapa yang sanggup melawan sang nasib? Dua belas tahun kemudian, Ikal menyaksikan perubahan nasib teman-temannya yang sungguh diluar dugaan. Sang nasib sungguh menjadi sebuah misteri yang maha gelap. Anak-anak Laskar Pelangi itu boleh punya cita-cita setinggi langit, tapi nasib jualah yang menentukan episode kehidupan mereka selanjutnya. Sang nasib bisa jadi adalah ketiadaan kepedulian pemerintah akan bibit-bibit unggul mutiara anak bangsa yang harus terhempas oleh himpitan ekonomi. Mereka adalah anak-anak harapan bangsa yang terpaksa harus tunduk oleh gilasan nasib yang semestinya bisa diupayakan oleh pemerintah yang punya amanah dan kuasa untuk memajukan pendidikan.

Lintang, sang jenius itu misalnya kini harus terpuruk jadi sopir tronton karena harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi pengganti ayahnya. Tapi Lintang punya jawaban, " jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak jadi nelayan…." Bagi Ikal, kata-kata itu semakin menghancurkan hatinya, ia marah, kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Ia mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

Keunggulan Novel
Kekuatan novel ini terletak pada sentilan humaniora tentang pentingnya pendidikan sekolah dan sekaligus kuatnya moral agama. Novel ini wajib baca bagi generasi muda yang terlena dengan gelimang kemudahan ekonomi dan tak lagi kenal jerih payah untuk menggapai masa depan. Novel ini juga wajib baca bagi para pendidik, bagi pemerintah yang selalu alpa pada pentingnya pendidikan. Buah dari kealpaan itu diantaranya adalah, kini kita menjadi bangsa yang sering menjadi bahan olok-olok oleh bangsa lain, karena kita rajin mencetak manusia yang tak punya kualitas.

Dapat menjadi cerminan pembaca agar dapat mengambil contoh betapa pentingnya pendidikan untuk meraih cita-cita. Dapat memicu pembaca agar tetap semangat dan berjuang untuk meraih prestasi guna memajukan bangsa agar lebih baik. Terdapat nilai yang patut untuk dicontoh agar menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Memberitahukan kepada kita bahwa guru benar-benar seorang pahlawan yang tanpa tanda jasa demi mencerdaskan anak didiknya dan selalu memberikan yang terbaik.

Kelemahan Novel
Kelemahan novel ini, menurut saya, hanya terletak pada cara mengakhiri cerita. Semestinya, novel ini sudah ditutup pada bab 33: Anarkonisme, yang menceritakan kejatuhan Babel (Bangka Belitung) yang dulu bergelimbang Timah. Bab 34: Gotik, menurut saya menjadi ekor cerita yang membingungkan. Karena penutur "Aku" secara tiba-tiba menjadi orang lain, dan bukan lagi Ikal. Bab 34 ini menjadi sebuah kemubaziran. Sama persis seperti seorang pelukis yang seharusnya berhenti menguaskan catnya pada bidang lukis yang sudah sempurna, tapi kemudian menjadi berantakan karena sebuah goresan yang tidak perlu.

Kata-kata yang digunakan kurang menunjukan bahwa tokoh adalah seorang anak, yang seharusnya tiak melakukan kewajibannya untuk membantu pamannya.

Mengapa tokoh ikal di dalam cerita tidak berkesinambungan dengan isi novel yang lainnya. Seharusnya bisa digunakan nama yang lainnya.

Kesimpulan
Dari novel yang di buat oleh Andre Hirata ini, saya dapat mengambil beberapa pelajaran hidup yang penting, salah satunya kita harus benar-benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidak pantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidak mungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidak menjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh lintang, dia anak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disini saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepas dari campur tangan Tuhan.

Sumber: Dinova Putra