Search This Blog

Saturday, April 5, 2014

Sperma Airmata - Tandi Skober





LUKA KULTURAL DALAM SPERMA AIRMATA

Pungkit Wijaya



Judul: Sperma Airmata
Penulis: Tandi Skober
Penerbit: SkylArt Publisher
Tahun: 2012

Danarto, sempat berujar bahwa “saya percaya, tema dan jalan cerita bukanlah yang terpenting. Yang paling utama dari cerita pendek adalah cara bertutur yang memikat” kepercayaan Danarto sebagai cerpenis kenamaan sastra Indonesia tersebut diungkapkannya dalam kata pengantar buku kumpulan cerita pendek Hanna Fransisca, Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina: 2012. 

Maka, jika bertolak dari kepercayaan Danarto tersebut, setidaknya dalam membaca cerita pendek, kita sebagai bagian dari sidang pembaca akan sepakat dengan persoalan gaya tutur. Seorang cerpenis memiliki gaya tutur yang berbeda-beda untuk menyusun sebuah kelengkapan cerita. 

Tak pelaknya akademisi sastra Maman. S Mahayana dalam bukunya Bermain Dengan Cerpen: Apresiasi dan kritik Cerpen Indonesia: 2006 mengatakan “setiap karya sastra mesti dilakukan secara khas dan unik, dunia imajinatif yang digambarkan dalam karya sastra tertentu. Ia mesti ditempatkan secara berbeda dari karya sastra lain. Setiap pengarang mempunyai pandangan, ideologi, sikap, persepsi, dan style yang berbeda dari pengarang lain.” 

Dengan demikian ini menegaskan kedatangan kumpulan cerita berjudul Sperma Airmata: 2012 yang ditulis oleh Tandi Skober, pula diterbitkan SkylArt Publisher, sebuah penerbit “indie” yang berada di Bandung. Dalam buku kumpulan cerita tersebut terdapat 22 judul yang berkisar seputar ruang gerak kultural dan narasi gugatan dalam sayup-sayup luka yang masih memberat. 

Sperma Airmata menjadi judul yang khas dalam buku ini, ada dua frasa yakni sperma dan airmata, mungkinkah ini penegasan frasa metaforik dari keseluruhan isi cerita dalam buku Tandi Skober itu? Meskipun sama-sama berwujud cair, namun “muncratanya” bisa berbeda. Dalam narasi pertama ada gugatan yang terus lekat: 

“Menjadi anak haram sejarah Indonesia di zaman yang gagap pada titik terjauh cuma bisa tiarap,” itu catatan pacar pertama saya, Mun, pada Oktober 1969. (hal 1). 

Paragraph pertama dalam cerita berjudul Sperma Airmata itu ternyata kabarkan kelam, penggunaan subjek saya (orang pertama) sebagai narrator membuat cerita terkesan sederhana atau meruang, berbeda dengan subjek kata “aku” misalnya, meskipun dalam setiap alur ceritanya berlompatan, berlarian menuju suasana yang getir. 

Tokoh Mun, menjadi semacam halusinasi yang terus terbayang, menjadi tokoh nyata dan imajiner dalam ruang cerita. “Mun? hmm, laut pun melipat ombak yang mabuk. Saya dan Mun bermandi dinding pasir Cirebon. Bergumul lumpur, bercahaya purnama yang telanjang. Nelayan menulis nasib dilembaran angin selatan. “ternyata Indoensia tercipta dari serpihan muram yang rapuh ketika Tuhan gagal ciptakan hantu pancasila.” (hal 2). 

Dalam narasi itu suasana yang bergerak dari ruang lokalitas pesisir Cirebon yang terkenang, sejumlah letupan dan gugatan menjadi penting dalam cerita tersebut. Harapan berkelindan dalam cerita ini “menjadi anak haram Indonesia kudu bisa mematikan hasrat. Tidak menjadi anak panah yang melesat dari busur risau yang rapuh.” (hal 4). 

Rekontruksi Peristiwa 
Tandi Skober, dalam kumpulan cerita ini seperti menyiratkan luka kultural yang diasumsikan kepada sejumlah tokoh yang hadir dalam ceritanya. Nuansa kebangsaan dalam gerak tuturan, pula ada beberapa tokoh yang menerima, sembari mencaki maki rentan waktu yang sudah lewat. Dalam Burung Nazar di Ujung Bendera 

“Indonesia, ini cerita saya tentang sesekor burung nazar. Tiap kali saya membuka jendela saat subuh, selalu saja saya lihat burung nazar di ujung tiang bendera yang melengkung. Mata tajam burung bangkai itu bagai pisau yang membedah ruang kerja saya.” (hal 19) 

Bagi Tandi Skober, luka itu mungkin dikabarkan dalam bentuk narasi. Sejumlah amatan yang tentu saja menyebabkan para tokoh ceritanya hanya bisa berharap, sesekali ingin menjahit luka itu, luka yang menganga di rahim Indonesia. Pada sisi lain, literasi Cirebon, Medan dan Indramayu hadir dalam cerita pendek itu, bahasa Cirebon terutama mengiringi sejumlah catatan suasana perjalanan yang telah dilalui Tandi. Ada sejumlah rentetan bahasa Cirebon dan Indramayu yang menjadi penting untuk dibaca. Benjing amenaging kela kali asat, ana eksor molor jor-joran, sumur murubi sagara, wong dawur dadi umbul-umbul, wong cilik tengak-tengul nydoti umbel, mila nyuwuna estu, supadi dadi negeri tan negeri, wis sigra rainira lurua turuk, nganggo amangku Dermayu. (Kelamin yang Kelam, hal 93) 

Selain mitologi dari Indramayu yang hadir disela-sela cerita. Kelebihan Tandi Skober terbentangnya pengetahuan mitologi yang ia ketahui memperkaya efek fiksi dan berkelindan dengan suasana hari ini, lekatnya imajinasi cerita mitos dikontekstualisasikan juga rekonstruksi peristiwa dalam buku ini. Seperti halnya cerita wayang. Berbeda halnya apabila dibandingkan dengan kumpulan novelnya yang berjudul Namaku Nairem:2012 yang juga berbarengan diterbitkan pada tahun ini. 

Suara Satire 
Membaca kumpual cerita ini, setidaknya narasi obrak-abrik yang dipakai Tandi Skober. Di usianya yang sudah “Aki” meminjam kata dalam cerita pendek Idrus, sebagai cerpenis sekaligus esais yang tulisannya selalu mencampur adukan nuansa imajinasi, parodi yang berujung pada suara satire. Terlebih dalam ihwal menulisnya, sangat sulit membedakan esai atau cerita pendeknya. Mungkin Tandi Skober hendak menolak mitos gaya tutur menulisnya itu, sejauh pembacaan cerita dalam 22 judul di buku ini, ada yang menekankan makna tekstual dan makna refenesialnya, Paul Ricoeur menyebutnya sebagai event-meaning dialectics atau dialektika makna-peristiwa. Sebuah cerpen harus mengandung peristiwa, karena kalau tidak dia akan berubah menjadi esei atau puisi. 

Meskipun demikian, nada kritik melayang di jalur narasi dan lompatan cerita. Maka di usia lansia Tandi Skober, bukan saja menghadirkan Soeharto atau SBY dalam ceritanya namun ia tengah mengobrak-abrik sejarah masa silam bangsa ini. Narasi itu, kian lekat dalam ingatan, menempel dalam realitas hingga pada batas tertentu, ada suara lain yang selalu bergemuruh, berkecamuk namun bergerak menuju alunan sayup. Ruang imajinasi dan memori personal yang saling silang. 

Menariknya ditengah suasana gemuruh, senyap-lenyap, Sperma Airmata hadir ditengah letupan galau. Dalam cerita Tandi Skober, gaya tutur itu menjadi khas dalam nuansa tema kritik sosial yang berbentuk parodi. Adakalanya kejujuran bagi Tandi sebagai tokoh aku dalam cerpen berjudul Cerpen Tandi yang Tidak Dimuat Dikoran: 

“Lihat saya Yudhoyono! Saya maklumatkan perlawanan metafisika! Saya adalah edan yang mengendap-endap di antara mesin-mesin raksasa peradaban dan rasionalitas ego yang gagap saya adalah edan yang terlempar pada kesunyian gulita. Terjerembab pada jaring-jaring kekuasaan.” (hal.119) 

Selain gugatan dan satire terhadap bangsa yang memuncratkan sperma airmata. Tandi sedang menawarkan estetika guyon dalam suasana di taman lansia, konon di taman lansia itu para “Aki” senang bermain-main dengan daya imajinasi yang bangka. 

Pungkit Wijaya, Bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung 

No comments:

Post a Comment