Search This Blog

Saturday, April 5, 2014

The Cuckoo's Calling - Robert Galbraith aka J.K. Rowling



MEMBEBASKAN PIKIRAN DARI BELENGGU NAMA
Raiyaroof

Judul: The Cuckoo's Calling
Penulis: Roberth Galbraith
Penerbit: Gramedia

Harga: Rp. 99.000
Terbit: Desember 2013
Ukuran: 15 x 23
Tebal: halaman
Cover: Softcover


Di novel terbarunya ini, J.K. Rowling menggunakan nama samaran Robert Galbraith. Ini manuver yang brilian mengingat namanya yang lekat dengan seri Harry Potter. Dengan Jo menggunakan nama alias, pembaca The Cuckoo’s Calling terbebas dari hasrat untuk membanding-bandingkan buku ini dengan Harry Potter, seperti yang terjadi pada Casual Vacancy (nasib malang untuk Casual Vacancy). Tapi, sebenarnya Jo menggunakan nama samaran lebih karena dia merasa dirinya seperti laki-laki ketika menulis The Cuckoo’s Calling. Dan Jo mengejawantahkan hal ini sebagai kalimat terakhir dalam cerita, “...Aku menjelma sebuah nama.” Mungkin nama ini merepresentasikan bagaimana dia ingin menulis.

The Cuckoo’s Calling adalah novel bergenre kriminal. Cerita diawali dengan kematian seorang supermodel terkenal bernama Lula Landry. Lula dianggap melakukan bunuh diri mengingat sejarah kehidupan glamornya yang pilu ditambah dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang aneh di sekitar tempat kejadian kematiannya. Namun kakak Lula, John Bristow, tak begitu yakin. John menghubungi detektif swasta, Cormoran Strike, untuk menemukan pembunuh Lula. Ia amat sangat yakin bahwa sosok seperti adiknya tidak mungkin melakukan bunuh diri. Mana yang benar?

Sang detektif, yang mantan anggota militer, awalnya sangsi kepada John karena semua bukti mengarah kepada kenyataan bahwa Lula memang bunuh diri. Namun Strike menerima kasus tersebut. Dibantu dengan sekretaris temporernya, Robin Ellacot, Strike mendalami kematian Lula yang akhirnya membawanya masuk semakin dalam ke kehidupan glamor dan rapuh Lula Landry.

Hanya sedikit novel yang benar-benar bisa mengunci perhatian saya (sedap!). Dan bagi saya, novel ini bukan peak dari bacaan-bacaan saya sepanjang tahun 2013 (kayak-kayak sering banget baca). Kekuatan novel ini ada pada penokohannya, bukan ceritanya. Sebenarnya, ide ceritanya simple. Plotnya sangat mudah anda duga untuk sebuah novel dengan subjek tentang detektif. Namun, Jo berhasil menciptakan karakter-karakter yang kuat dan emosional.

Siapa yang nggak terpikat dengan sosok Robin yang cerdas tapi penuh kegalauan. Sebenarnya dia sudah bertunangan, tapi rasa tertariknya pada dunia detektif (dan si detektif sendiri) membuatnya bimbang apakah dia harus tetap bertahan dengan gaji yang tak memuaskan ditambah ketidaksetujuan sang tunangan atau pindah ke pekerjaan lain yang membosankan dengan gaji memadai. Atau, si jagoan Strike yang meskipun digambarkan sebagai sosok tangguh mantan militer dengan cacat fisik akibat perang, tetapi memiliki emosi labil yang diakibatkan luka dari sang mantan kekasih dan pencapaian hidupnya yang menyedihkan di usia tiga puluhan. Atau teman-teman Lula, Guy Somé dan Ciara Porter, yang hidup dalam dunia glamor dengan gaya eksentrik yang mendamba sosok mendominasi di ranjang. Atau, Lula sendiri. Yang meskipun fakta mengungkapkan lain, tetapi ia memiliki segala kecenderungan untuk bunuh diri. Dan karakter-karakter lainnya, yang tetap diciptakan Jo dengan sangat personal. Mungkin inilah yang menjadi daya pikat buku ini, sosok-sosok labil yang menjadi tren generasi kita (kita?!!) saat ini, galau-galau gimana gitu.

Kekuatan cerita tidak begitu signifikan dalam buku ini. Rasanya cliché, mainstream untuk sebuah novel detektif. Namun begitu, interogasi Strike dalam menggali informasi dari setiap orang yang mungkin terlibat sangat memikat, karena kamu benar-benar akan merasakan perubahan atmosfer dari setiap tokoh yang berbeda. Sayangnya, ada beberapa adegan yang bakal aneh kalau kamu membayangkannya secara nyata. Ada dialog yang terlalu panjang (terutama di akhir). Dan, ada adegan yang mungkin bisa dikategorikan nekat luar biasa, yang mungkin diciptakan Jo untuk seolah mendobrak kebuntuan cerita (yaitu adegan menghambur tiba-tiba dalam kantor seseorang). Namun demikian, keseluruhan cerita tetap memikat dalam kadar yang standar. Plot-plot ceritanya saling mengunci dengan logika dingin yang cermat. Keakuratan analisis Strike (yang dalam hal ini adalah kemampuan Jo mendesain perkara) patut diacungi jempol, karena bukti-bukti kejadian akan berhamburan di sepanjang cerita. Kalau anda tekun mencatat semua bukti seperti yang dilakukan Strike, mungkin anda bisa pecahkan sendiri sebelum novel selesai dengan sedikit analisis. Karena saya nggak mengingat semua bukti, sebenarnya agak takjub dengan ending cerita, dengan banyak sentakan “oh iya” (sambil membolak-balik beberapa halaman ke belakang mencari ceceran bukti) selama Strike menjelaskan dengan runtut semua kejadian dan bukti yang memberatkan.

Secara keseluruhan, novel ini bolehlah mengisi akhir tahun anda (versi aslinya sebenarnya rilis bulan April). Ceritanya memang standar, tapi anda mungkin terpikat dengan karakter-karakter labil emosi di dalamnya. Sebenarnya saya lebih tertarik pada apakah akhirnya Robin meninggalkan Matthew, tunangannya, dan malah jatuh ke pelukan Strike (tapi ini bukan sinetron menye-menye Indonesia, kan?). Juga lebih mengasyikkan ketika Strike dan Robin sedang mendiskusikan kasus dengan keduanya saling menyimpan rasa ingin tahu yang terpendam satu sama lain. Sedangkan kisah pemecahan kasus pembunuhan (yang mungkin bunuh diri) Lula Landry lebih seperti “oh ya, saya jelas akan dapat cerita ini kan, tapi bonusnya lebih oke”. Logika cerita tetap jempol, seperti yang selalu dilakukan Jo pada novel-novel sebelumnya.

Terakhir, saya heran kenapa judul novel ini diterjemahkan menjadi Dekut Burung Kukuk. Nggak tahu juga bagaimana seharusnya judul itu diterjemahkan, tapi Cuckoo seharusnya sama sekali tidak diterjemahkan menjadi burung kukuk.

Sumber: Raiyaroof (via Gramedia)

No comments:

Post a Comment