Search This Blog

Saturday, April 5, 2014

Salad Days - Shelly Salfatira

PESAN ELEGAN DARI SEBUAH BUKU TEENLIT
Dedul Faithful


Judul: Salad Days
Penulis: Shelly Salfatira
Penerbit: Gramedia

Harga: Rp. 38.000
Terbit: Juli 2013
Ukuran: 13.5 x 20
Cover: Softcover

Ini adalah kali pertama saya membaca teenlit GPU. Dan untungnya usia saya belum terlalu tua untuk mengikuti seluruh fitur dalam buku semacam ini. Kisah dalam Salad Days ternyata membuat saya menyadari bahwa tidak selamanya buku berlabel remaja mengedepankan kisah percintaan ala SMA atau anak kuliahan awal, melainkan lebih dari itu di dalam buku ini, semoga juga di buku-buku lainnya, menyimpan pesan tersirat yang elegan, tentang ambisi meraih mimpi, bagaimana cara mempertahankan persahabatan, rela berkorban, dan belajar mempersiapkan masa depan.

Dalam buku Salad Days, Shelly Salfatira sebagai dalang di balik alur cerita, menghadirkan sosok Azmarie Greta alias Greta, seorang gadis energik pencinta olahraga basket yang cantik, pintar, dan istimewa karena sikapnya yang rendah hati, tidak pernah menampakkan kekayaannya. Terlalu unbeliveable, atau too good to be true, namun untungnya Shelly Salfatira berhasil menghasilkan karakter yang mendekati 'dewa' itu menjadi manusia seutuhnya kala konflik mulai bergulir dan kepentingan masing-masing karakter bertabrakan satu sama lain.

Victoria Hanna alias Hanna adalah satu-satunya sahabat perempuan Greta di sekolah, dia adalah teman yang sangat Greta percaya, sedangkan teman tim basket Greta yang lain tak terlalu dekat dengan Greta meski team work mereka solid, dan tentu saja tak terlalu disorot dalam buku ini. Sikap Hanna yang kontras dengan Greta membuat Hanna menjadi seperti potongan puzzle yang dapat klop dengan Greta. Hanna digambarkan sebagai gadis manis yang tingginya lebih pendek dari Greta, pemalu, introvert, dan meskipun tak secerdas Greta dia mampu menjadi teman yang setia bagi Greta. Namun, siapa yang sangka masalah beruntun akan terjadi karena Hanna? Setelah kehadiran murid baru bernama Dirga.

Dirga pun salah satu sosok yang digambarkan penuh kesempurnaan, teknik 'too good to be true' kembali muncul di sini. Digambarkanlah sosok Dirga sebagai cowok kharismatik, dingin, jago basket, tinggi, putih, dan kaum jetset. Serupa dengan tokoh Patrick, namun sikap Patrick yang lebih extrovert tetapi cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan, menegaskan bahwa dirinya memang berbeda dengan Dirga. Sedangkan Boy, adalah teman tapi mesranya Greta, namun yang membuatnya unik adalah dia pendek namun kualitas permainan basketnya super. Dan yang paling penting adalah tingkat kejailannya yang selevel dengan Greta.

Masalah terjadi saat Greta sudah memendam rasa kesal saat pertemuan kali pertama dengan Dirga. Dan kekesalan berkali-kali muncul saat Dirga direkrut oleh Patrick dan Boy masuk tim inti basket. Namun, puncaknya adalah saat Dirga mengambil perhatian Hanna, yang notabene sahabat lengket Greta, dia satu-satunya tokoh dalam buku ini yang bukan anggota eskul basket.

Benci berubah cinta, cinta segitiga, cinta diam-diam, teman tapi mesra, semuanya komplit ada dalam buku ini. Dengan penuturan yang pas plus cerita berjalan lewat berbagai sudut pandang sekaligus, teenlit ini seolah-olah menampakkan nuansa yang berbeda, sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai buku remaja berkualitas. Saya memang tidak sedang membuat citra teenlit ini melambung, namun memang benar adanya ketika saya sampai di akhir halaman buku ini, ending-nya tidak terduga sama sekali. Melengkapi semua poin-poin excelent yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Resensi buku terbaru, resensi buku best seller,

Ketika plot cerita buku teenlit ini mengalami pengembangan ide yang cukup menarik, saya sadar buku ini diolah dengan matang. Greta yang semula benci jadi cinta pada Dirga, mungkin itu pengembangan plot yang pasaran, namun bagaimana jika Dirga pun mencintai Greta? Lalu, Hanna yang tidak peka pada rasa cinta Greta, ia menganggap Greta tak punya hubungan apa-apa dengan Dirga. Sedangkan Dirga, sebagai cowok yang masih punya belas kasihan, ia selalu membuat Hanna tampak spesial, karena ternyata Hannah adalah teman masa kecilnya. Dan hal itu adalah hal yang membuat Greta kecewa saat Dirga dan Hanna tak kunjung berbicara jujur. Pada akhirnya semua tokoh menelan pil pahit, bahkan Patrick yang juga menaruh perasaan pada Greta, ia tidak dapat meraihnya walau jemarinya saja, sedangkan Boy tetap dengan status 'teman tapi mesranya' Greta. Namun, tenang saja, itu bukan akhir dalam buku ini.

Saya merasa sangat puas membeli teenlit GPU satu ini. Menumbuhkan niat untuk membeli yang lainnya, dalam genre yang sama. Karena buku Salad Days tak melulu seputar patah hati, cinta diam-diam, cinta segitiga, dan meraih cita-cita, namun segala hal seputar basket menjadi background besar dalam tiap detail diksi yang termaktub dalam Salad Days. Mengingatkan saya pada FTV Lovasket, yang lagi-lagi membuat saya tercengang karena memang FTV itu diadaptasi dari teenlit GPU, meski saya belum pernah baca.

Semoga GPU tetap akan menerbitkan buku-buku semacam ini. Karena buku-buku semacam ini sepertinya sungguh memberikan pesan inspiratif yang tak menggurui dalam bingkai warna-warni remaja yang rasanya beraneka ragam dan tentu saja tak menjemukan. Melengkapi khasanah sastra Indonesia yang patut untuk tak dilewatkan eksistensinya.

Sumber: Dedul Faithful (via Gramedia)

The Cuckoo's Calling - Robert Galbraith aka J.K. Rowling



MEMBEBASKAN PIKIRAN DARI BELENGGU NAMA
Raiyaroof

Judul: The Cuckoo's Calling
Penulis: Roberth Galbraith
Penerbit: Gramedia

Harga: Rp. 99.000
Terbit: Desember 2013
Ukuran: 15 x 23
Tebal: halaman
Cover: Softcover


Di novel terbarunya ini, J.K. Rowling menggunakan nama samaran Robert Galbraith. Ini manuver yang brilian mengingat namanya yang lekat dengan seri Harry Potter. Dengan Jo menggunakan nama alias, pembaca The Cuckoo’s Calling terbebas dari hasrat untuk membanding-bandingkan buku ini dengan Harry Potter, seperti yang terjadi pada Casual Vacancy (nasib malang untuk Casual Vacancy). Tapi, sebenarnya Jo menggunakan nama samaran lebih karena dia merasa dirinya seperti laki-laki ketika menulis The Cuckoo’s Calling. Dan Jo mengejawantahkan hal ini sebagai kalimat terakhir dalam cerita, “...Aku menjelma sebuah nama.” Mungkin nama ini merepresentasikan bagaimana dia ingin menulis.

The Cuckoo’s Calling adalah novel bergenre kriminal. Cerita diawali dengan kematian seorang supermodel terkenal bernama Lula Landry. Lula dianggap melakukan bunuh diri mengingat sejarah kehidupan glamornya yang pilu ditambah dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang aneh di sekitar tempat kejadian kematiannya. Namun kakak Lula, John Bristow, tak begitu yakin. John menghubungi detektif swasta, Cormoran Strike, untuk menemukan pembunuh Lula. Ia amat sangat yakin bahwa sosok seperti adiknya tidak mungkin melakukan bunuh diri. Mana yang benar?

Sang detektif, yang mantan anggota militer, awalnya sangsi kepada John karena semua bukti mengarah kepada kenyataan bahwa Lula memang bunuh diri. Namun Strike menerima kasus tersebut. Dibantu dengan sekretaris temporernya, Robin Ellacot, Strike mendalami kematian Lula yang akhirnya membawanya masuk semakin dalam ke kehidupan glamor dan rapuh Lula Landry.

Hanya sedikit novel yang benar-benar bisa mengunci perhatian saya (sedap!). Dan bagi saya, novel ini bukan peak dari bacaan-bacaan saya sepanjang tahun 2013 (kayak-kayak sering banget baca). Kekuatan novel ini ada pada penokohannya, bukan ceritanya. Sebenarnya, ide ceritanya simple. Plotnya sangat mudah anda duga untuk sebuah novel dengan subjek tentang detektif. Namun, Jo berhasil menciptakan karakter-karakter yang kuat dan emosional.

Siapa yang nggak terpikat dengan sosok Robin yang cerdas tapi penuh kegalauan. Sebenarnya dia sudah bertunangan, tapi rasa tertariknya pada dunia detektif (dan si detektif sendiri) membuatnya bimbang apakah dia harus tetap bertahan dengan gaji yang tak memuaskan ditambah ketidaksetujuan sang tunangan atau pindah ke pekerjaan lain yang membosankan dengan gaji memadai. Atau, si jagoan Strike yang meskipun digambarkan sebagai sosok tangguh mantan militer dengan cacat fisik akibat perang, tetapi memiliki emosi labil yang diakibatkan luka dari sang mantan kekasih dan pencapaian hidupnya yang menyedihkan di usia tiga puluhan. Atau teman-teman Lula, Guy Somé dan Ciara Porter, yang hidup dalam dunia glamor dengan gaya eksentrik yang mendamba sosok mendominasi di ranjang. Atau, Lula sendiri. Yang meskipun fakta mengungkapkan lain, tetapi ia memiliki segala kecenderungan untuk bunuh diri. Dan karakter-karakter lainnya, yang tetap diciptakan Jo dengan sangat personal. Mungkin inilah yang menjadi daya pikat buku ini, sosok-sosok labil yang menjadi tren generasi kita (kita?!!) saat ini, galau-galau gimana gitu.

Kekuatan cerita tidak begitu signifikan dalam buku ini. Rasanya cliché, mainstream untuk sebuah novel detektif. Namun begitu, interogasi Strike dalam menggali informasi dari setiap orang yang mungkin terlibat sangat memikat, karena kamu benar-benar akan merasakan perubahan atmosfer dari setiap tokoh yang berbeda. Sayangnya, ada beberapa adegan yang bakal aneh kalau kamu membayangkannya secara nyata. Ada dialog yang terlalu panjang (terutama di akhir). Dan, ada adegan yang mungkin bisa dikategorikan nekat luar biasa, yang mungkin diciptakan Jo untuk seolah mendobrak kebuntuan cerita (yaitu adegan menghambur tiba-tiba dalam kantor seseorang). Namun demikian, keseluruhan cerita tetap memikat dalam kadar yang standar. Plot-plot ceritanya saling mengunci dengan logika dingin yang cermat. Keakuratan analisis Strike (yang dalam hal ini adalah kemampuan Jo mendesain perkara) patut diacungi jempol, karena bukti-bukti kejadian akan berhamburan di sepanjang cerita. Kalau anda tekun mencatat semua bukti seperti yang dilakukan Strike, mungkin anda bisa pecahkan sendiri sebelum novel selesai dengan sedikit analisis. Karena saya nggak mengingat semua bukti, sebenarnya agak takjub dengan ending cerita, dengan banyak sentakan “oh iya” (sambil membolak-balik beberapa halaman ke belakang mencari ceceran bukti) selama Strike menjelaskan dengan runtut semua kejadian dan bukti yang memberatkan.

Secara keseluruhan, novel ini bolehlah mengisi akhir tahun anda (versi aslinya sebenarnya rilis bulan April). Ceritanya memang standar, tapi anda mungkin terpikat dengan karakter-karakter labil emosi di dalamnya. Sebenarnya saya lebih tertarik pada apakah akhirnya Robin meninggalkan Matthew, tunangannya, dan malah jatuh ke pelukan Strike (tapi ini bukan sinetron menye-menye Indonesia, kan?). Juga lebih mengasyikkan ketika Strike dan Robin sedang mendiskusikan kasus dengan keduanya saling menyimpan rasa ingin tahu yang terpendam satu sama lain. Sedangkan kisah pemecahan kasus pembunuhan (yang mungkin bunuh diri) Lula Landry lebih seperti “oh ya, saya jelas akan dapat cerita ini kan, tapi bonusnya lebih oke”. Logika cerita tetap jempol, seperti yang selalu dilakukan Jo pada novel-novel sebelumnya.

Terakhir, saya heran kenapa judul novel ini diterjemahkan menjadi Dekut Burung Kukuk. Nggak tahu juga bagaimana seharusnya judul itu diterjemahkan, tapi Cuckoo seharusnya sama sekali tidak diterjemahkan menjadi burung kukuk.

Sumber: Raiyaroof (via Gramedia)

Bumi - Tere Liye



KETIKA FANTASI MENJADI SEDEKAT REALITA
Blossombatman


Judul: Bumi
Penulis: Tere Liye
Harga: RP. 65.000

Ukuran : 13.5 x 20 cm
Tebal: 440 halaman
Terbit: Januari 2014
Cover: Softcover
ISBN: 978-602-03-0112-9
No Produk: 31201140003


“Namaku, Raib. Dan aku bisa menghilang.”

Terus terang saya bukan penikmat cerita bergenre fantasi. Bagi saya, kemungkinan manusia hidup berdampingan dengan alien, mahluk halus, mesin waktu, dunia paralel, merupakan hal yang absurd dan sulit diterima nalar. Selain itu, kebanyakan kisah fantasi yang pernah saya baca memiliki setting luar negeri ataupun tokoh yang agak kebarat-baratan, meskipun buku tersebut ditulis oleh pengarang Indonesia. Sehingga sulit bagi saya untuk mengimajinasikan bahwa hal – hal fantasi tersebut bisa saja terjadi saat ini, terjadi di dekat saya.

Namun Tere Liye, melalui buku BUMI ini bisa meyakinkan saya bahwa cerita fantasi bisa dibawa sedekat mungkin dengan realitas yang ada. Buku ini berkisah mengenai Raib, gadis ceria berumur 15 tahun yang duduk di kelas sepuluh. Kehidupan keluarga Raib cukup harmonis, sekolahnya menyenangkan, dan yang terpenting: dia bisa menghilang. Raib memiliki teman sebangku bernama Seli. Kadangkala dia dan Seli diganggu seorang murid lelaki iseng namun jenius bernama Ali. Tidak ada yang mengetahui mengenai kemampuan Raib untuk menghilang, bahkan orang tua Raib sekalipun.

Hingga suatu kecelakaan di sekolah secara tidak sengaja membuat Raib menunjukkan kemampuannya di depan Seli dan Ali. Kecelakaan tersebut juga membuat Raib, Seli dan Ali harus berhadapan dengan orang – orang yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. Orang – orang yang memiliki kemampuan menakjubkan seperti Raib. Orang – orang yang mengetahui asal-usul Raib yang sebenarnya, asal-usul yang bahkan tidak diketahui oleh Raib sebelumnya. Orang-orang yang harus dihentikan ambisinya agar tidak menghancurkan bumi ini. Raib, Seli dan Ali mengalami petualang seru sekaligus berbahaya, yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.


“Kita berada di tempat yang sama, tapi dengan sekeliling yang berbeda. Bahkan orang – orang yang berbeda.” ~Ali (halaman 210)

“Dunia yang kita tinggali memang tidak sesederhana yang kita lihat..... Ada empat kehidupan yang berjalan secara serempak di atas planet ini.” ~ Av (halaman. 246)

Ya, buku ini memang bukan sekedar kisah mengenai Raib yang memiliki kemampuan menghilang. Lebih dari itu, dengan diksi – diksi yang mudah dicerna, buku ini mampu memaparkan secara sederhana fenomena mengenai dunia paralel yang (bagi saya) rumit.

Selain plot dan bahasa yang mudah dicerna, kekuatan dari buku ini adalah karakter – karakternya yang menarik. Cerita ini dibangun diatas setting lokal yang saya anggap merupakan gambaran dari Indonesia, lingkungan yang sehari – hari saya tinggali. Karakter-karakter utamanya diberi nama yang cukup Indonesia. Mereka juga mewakili keseharian remaja – remaja Indonesia, yang berangkat sekolah naik angkot, yang jajan bakso kala istirahat, yang disetrap berdiri diluar kelas karena tidak membuat peer. Karakter yang bermuatan lokal tersebut membuat saya merasa terhubung dengan mereka, dan pada akhirnya membuat saya bisa menikmati petualangan mereka, dan secara keseluruhan menikmati cerita fantasi yang biasanya tidak saya sukai.


“Kamu baru saja membuktikan teori ikan buntal, Ali..... ketika terdesak, panik, seekor ikan buntal akan menggelembung besar, berkali lipat ukuran aslinya, duri-durinya berdiri tajam. Ikan buntal mewarisi gen spesial itu. Kekuatan spesial.” ~Raib (halaman 435)

“Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga.” ~Miss Keriting (halaman 85)

Buku ini layak dibaca, bahkan bagi yang tidak menyukai teori – teori rumit dunia paralel dan perebutan kekuasaan. Buku ini mengalir ringan. Nampaknya buku ini akan memiliki sekuel, karena pada sampul belakang terdapat kalimat ‘Buku pertama dari serial “BUMI”. Saya penasaran ingin segera membaca serial berikutnya.

Sumber: Blossombatman (via Gramedia)

Little Stories - Adeste, Rinrin, Vera, Faye, Rieke



LITTLE STORIES
Rina Susanti


Judul: Little Stories
Penulis: Adeste Adipriyanti, Rinrin Indrianie, Vera Mensana, Faye Yolody, Rieke Saraswati

Rp. 55.000,-
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 264 halaman
Terbit: Februari 2014
Cover: Softcover
ISBN: 978-602-03-0190-7
No Produk: 40101140017

Tidak seperti kumpulan cerpen pada umumnya yang ditulis oleh lebih dari dua penulis, cerita satu sama lain biasanya diikat dalam satu tema. Kumpulan cerpen berjudul Little Stories ini terdiri dari 20 cerita dengan beragam tema dan walaupun tema cinta mendominasi, cerita cinta yang diangkat tidak hanya hubungan antara lelaki dan perempuan dewasa.

Salah satu kisah cinta yang menyentuh ada dalam cerita yang berjudul Berdua Saja. Kisah kasih dan sayang antara seorang anak dan ayahnya. Di mana seorang anak menolak secara halus keinginan ayahnya untuk menikah lagi.

“Aku lebih suka berdua saja,” kata Niko pelan.

Ahok tertegun. Mata sipitnya menelusuri wajah mungil yang menengah di depannya. Di gesernya naik gagang kacamata wajah Niko sembari menghela nafas (hal 223).

Ikatan cinta seorang anak dan bapaknya bisa juga di temui dalam cerpen Semangkuk Baso Tahu mengenai, kisah seorang anak yang ingin membahagiakan bapaknya dengan semangkuk baso tahu. Cerpen yang ditulis Orin.


“Nanti Ujang lihat dulu ya, Pak. Kalau jualan, Ujang beliin Bapak Bakso tahu.” Bapak tertawa hingga batuk berikutnya menghentikan kekehan itu.

“Nuhun nya, Jang. Mudah-mudahan weh si Mang Iyan jualan hari ini mah.”

“Iya, Pak.” Aku berdoa tulus, tetapi untuk alasan lain. Karena sebetulnya Mang Iyan tak penah tidak jualan. Karena sebetulnya bermangkuk-mangkuk bakso tahu selalu tersedia di warungnya. Karena sebetulnya aku yang memilih berbohong pada Bapak... (hal 65)

Cerita berjudul Brongkos Mertua adalah kisah yang mungkin banyak dialami pasangan muda perkotaan, cinta yang dibumbui dengan ‘perseteruan’ antara menantu dan mertua. Gelar tidak bisa dipisahkan dari bronkos maka kunjungan setiap dua minggu ke rumah Ibunya untuk menyantap bronkos adalah agenda wajib. Pada setiap kunjungan itu pula Ibu akan menyindir istri Gelar.


‘Wanita zaman sekarang lebih senang buang duit suami di mal ketimbang meracik bumbu di rumah. Mana mau tangannya tergores pisau, kebledosan minyak, matanya pedas ngupas bawang merah, atau kecocol cabe. Nggak gampang lhop cari calon menantu yang mumpuni di dapur.’ (hal 45).

Dengan alasan itu dan atas saran Gelar, akhirnya istrinya belajar membuat brongkos pada mertua dan itu bukan hal mudah terlebih ia tidak terbiasa di dapur. Dapur jadi semacam medan perang (hal 50 )Bisa dikatakan bukan ide cerita yang baru. Namun penulis berhasil membuatnya terasa beda karena penulisan tempat adegan cerita berlangsung cukup detail dan alur yang runut.

Cerita yang tak kalah menarik adalah cerita berjudul Gohu Buat Ina, ide ceritanya unik dan cerita tuntas dalam adegan percakapan yang mungkin kurang dari satu jam bertempat di dapur saat Ina dan Andine membuat Gohu. Tentang bagaimana Gohu – semacam rujak pepaya mengkal dengan bumbu bakasang (terasi khas menado) – membuat Ina bersuka cita memakannya karena ia tengah hamil muda, namun terasa pahit bagi Andine karena saat itu Gohu mengingatkan pada masa lalunya yang buram dan terasa keji.

Gohu Buat Ina adalah cerita yang paling saya suka, ‘sense’ nya kerasa banget, natural plus gaya penceritaannya yang unik alias jarang.

Kumpulan cerita ini ditulis lima penulis perempuan yang mungkin namanya masih asing untuk para penggemar fiksi, namun kebolehan mereka menulis bisa dilihat dari gaya penceritaan yang berbeda dari cerita-cerita metropop pada umumnya. Detail tempat yang dituliskan dengan baik, sudut pandang penceritaan baru dan ada beberapa cerpen dengan ide yang tidak biasa dalam ranah cerita pendek metropop tanah air. Seperti dalam cerita yang berjudul Nama Untuk Raka (hal 200) dan Pasien (228), namun masuk akal jika terjadi dalam kehidupan nyata.

Kalau biasanya fiksi yang dilabeli genre metropop mengisahkan cerita dengan latar belakang kelas menengah perkotaan maka dalam kumpulan cerpen ini merangkum banyak sisi kehidupan kota besar. Kisah perantauan yang hidup dalam rumah- rumah kontrakan berukuran 3x3, penggusuran lahan, demonstrasi, stres, depresi yang seperti menjadi wabah baru di kalangan menengah masyarakat perkotaan, dan cerita dengan tokoh utama peranakan Tionghoa yang tetap lekat dengan budaya dan tradisi di tengah gempuran moderisasi, seperti dalam cerpen Bakcang Terakhir (hal 32), yang bercerita mengenai reinkarnasi.

Kelima penulis berbakat ini ‘ditemukan’ Maggie Tiojakin, seorang penulis yang karyanya diperhitungkan di dunia kepenulisan fiksi tanah air. Maggie membekali dengan kursus menulis kreatif sebelum kelima penulis ini berembuk untuk membukukan tulisan-tulisan mereka.

Tak heran jika penyusunan buku yang terdiri dari empat bab ini didasarkan pada katagori latihan menulis. Bab 1 bertema kuliner, bab 2 bertema demonstrasi, bab 3 cerita dengan basis prompter yaitu dengan kalimat pembuka cerita yang sudah di tentukan dan bab terakhir cerita dengan tema bebas. Setiap penulis menulis satu cerita pada setiap bab. Buku ini cocok juga dibaca orang yang tertarik belajar menulis fiksi khususnya cerita pendek seperti bagaimana menemukan ide, bagaimana sebuah ide bisa menjadi banyak cerita dan tema.

Sumber: Rina Susanti (via Gramedia)

Malam Karnaval Berdarah (Lexie Xu)




MALAM KARNAVAL BERDARAH
Erison



Judul: Malam Karnaval Berdarah
Penulis: Lexie Xu

Harga: Rp. 75.000
Terbit: Februari 2014
Ukuran: 13.5 x 20
Tebal: halaman
Cover: Softcover

Setelah Johan Series yang sukses, Lexie Xu hadir kembali dengan Omen Series, dan buku yang akan dibahas adalah buku terbaru dari Omen Series, yaitu buku ke-4 berjudul Malam Karnaval Berdarah. Lexie Xu adalah penulis yang sangat produktif dengan jarak terbit antar buku karyanya yang tidak terpaut jauh. Bukan berarti kualitas ceritanya jelek—tentu saja. Sejak Obsesi diterbitkan, saya sudah menobatkan diri sebagai salah seorang dari Lexsychopaths—nama fans club Lexie Xu. Setiap ada novel yang memejeng nama Lexie Xu di depan kover, tanpa baca sinopsis, sudah saya sambar saja dari rak. Untuk kali ini, saya merasa kecewa dengan eksekusi dari Malam Karnaval Berdarah. Jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya, memang Malam Karnaval Berdarah yang paling lemah—namun, sekali lagi, bukan berarti jelek, cukup memuaskan malahan. Namun, saya berekspetasi lebih dari apa yang disajikan. Masih terlalu dini untuk menghakimi, karena Omen Series akan berakhir hingga buku ke-7. Well, let’s see.


Malam Karnaval Berdarah kali ini tidak menggunakan point of view dari Erika maupun Valeria, tetapi Rima “Sadako” Hujan dan love interest-nya Daniel Yusman—yang tentunya memberi warna baru terhadap jalannya seri thriller ini. Sesuai dengan judulnya, cerita berawal dengan rencana karyawisata yang akan dilakukan pada tahun ajaran baru untuk pertama kalinya. Memegang jabatan sebagai Ketua OSIS yang baru, Rima tentu saja kebagian untuk mengurus hal ini—dengan Daniel bercokol sebagai Wakil Ketua OSIS. Saat rapat berlangsung, Rima mengajukan usul untuk mengadakan karnaval saja—yang disambut patuh oleh anggota OSIS lainnya. Sayangnya, belum apa-apa, Putri Badai, Hakim Tertinggi The Judges, menerima surat ancaman dari kelompok yang menamai diri sebagai Kelompok Radikal Anti-Judges dengan inti bahwa susunan keanggotaan OSIS harus di-vote ulang karena disinyalir adanya manipulasi suara. Jika tidak, maka sesuatu akan terjadi ketika malam karnaval berlangsung. Persiapan demi persiapan dilakukan Rima—beserta Daniel—meskipun Rima lebih banyak bekerja sendiri. Sampai pada hari-H. Semua sudah dipersiapkan dengan baik. Wahana-wahana yang disediakan juga sudah di-cek dan dioperasikan sebelum karnaval dibuka. Di tengah-tengah karnaval yang sedang meriah dan ramai, sebuah teriakan kencang terdengar dari toilet umum wanita. Satu korban. Korban ditemukan pingsan dengan wajah dirias seperti badut. Tomat ditemplokkan di hidung. Tidak hanya sampai di situ, tubuh korban juga disayat-sayat dengan kejam. Rima mulai khawatir akan terwujudnya ancaman dari Kelompok Radikal Anti-Judges itu. Dengan waktu yang terus berjalan, Rima, Daniel, Putri, beserta konco-konconya berpacu melawan waktu untuk menguak siapa pelaku perbuatan jahanam itu—sementara konflik-konflik lainnya makin mencuat ke permukaan.

Seru sekali mengikuti penyelidikan kasus keempat yang penuh tanda tanya dan petunjuk yang menjebak. Sayangnya, hal itu baru terjadi saat cerita mulai memasuki pembukaan karnaval. Bagian sebelum pembukaan karnaval terkesan diulur dalam mengembangkan kisah romantis antara Rima dan Daniel. Untung di tengah kisah romantis Rima dan Daniel, mulai ditebar misteri-misteri pembuka. Harus diakui, penggunaan sudut pandang yang dibebankan kepada Rima dan Daniel memberikan warna tersendiri. Kita menjadi tahu jauh lebih dalam seluk-beluk cara pemikiran dan kepribadian dari Rima yang unik. Dan juga sisi lain dari Daniel yang kocak, terkadang menyebalkan, sekaligus romantis dan bertanggung jawab. Sayangnya, saya kadang tidak mampu membedakan saya sedang membaca narasi dari Rima atau Daniel. Di bagian awal, saya dapat membedakannya. Namun, semakin lama, saya mulai tidak dapat membedakannya. Saya masih ingat di Teror, novel pamungkas dari Johan Series, dengan begitu banyaknya karakter yang ikut bercerita, Lexie Xu berhasil memberikan ciri khusus tersendiri dalam setiap narasi tokoh yang ada. Tidak seperti novel-novel Omen Series sebelumnya yang membuat saya terpingkal-pingkal dengan narasi dari Erika dengan kepribadiannya yang blak-blakan dan nyeleneh, serta membuat cerita menjadi “penuh”, saya tidak merasakan itu dalam Malam Karnaval Berdarah. Flat. Mungkin itu kata yang tepat. Peralihan sudut pandang dari Erika dan Valeria ke Rima dan Daniel sebenarnya bukan tindakan yang salah. Hanya saja, jika ditilik lebih dalam, kepribadian Rima dan Daniel tidak terlalu jauh berbeda, sehingga tidak terdapat kesan “berbeda”-nya.

Kasus yang menjadi fokus utama pun tidak seseru dan semenegangkan dari 3 pendahulunya. Namun, Lexie Xu kembali—dan selalu—berhasil menyajikan cerita thriller yang membangkitkan rasa penasaran untuk segera membalik halaman hingga halaman terakhir untuk mengetahui siapa pelakunya. Konflik-konflik internal yang muncul juga makin menyemarakkan cerita—dengan twist-twist yang sama sekali tak terduga yang ikutan nongol. Ditambah dengan kehadiran Ajun Inspektur Lukas dengan sosok polisi tegas nan jenaka. Satu lagi, pesan moral yang terkandung dalam cerita yang selalu saya temukan dalam setiap novel Lexie Xu. Jangan lupakan juga kisah romantis antara Rima dan Daniel yang so sweet dan membuat kita ber-ooooohhhhh sekaligus mencak-mencak dan geregetan sendiri.

Suasana yang memacu adrenalin hanya saya rasakan sedikit di sini. Saya masih menjadi penggemar berat dari kekerasan dan pertarungan yang disajikan dalam Omen #1 yang berhasil membuat saya melebarkan mata dan gigit kuku jari—tangan, tentunya, bukan kaki dong. Namun, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada dalam Malam Karnaval Berdarah (termasuk juga typo yang jumlahnya tidak terlalu banyak), saya sangat menikmati dan menyukai cerita yang ditawarkan Lexie Xu. Selain Erika Guruh, sepertinya saya juga sudah menjadi penggemar dari Rima Hujan. Aah, sulit sekali untuk tidak menjadi penggemar dari Rima Hujan.

Malam Karnaval Berdarah sejujurnya tidak terlalu mengecewakan dengan cerita yang menguak latar belakang tokoh baru untuk membuat kita bersimpati sekalian sebagai jembatan untuk kisah berikutnya, adegan-adegan romantis antara Rima dan Daniel, dan berhasil membuat saya merasakan perasaan “kosong” setelah menuntaskan buku ini.

Way calmer dan terasa flat di beberapa bab, tetapi proses penyelidikan kasus keempat ini dan rahasia-rahasia apa yang terkuak dalam Malam Karnaval Berdarah dari para tokoh, serta kisah romantis Rima-Daniel tentu sama sekali tak boleh dilewatkan begitu saja. Oh, Omen #5, see you as soon as possible!

Sumber: Erison (Gramedia)

Laskar Pelangi - Andrea Hirata



KISAH HEROIK 11 ANAK BELITONG
Dinova Putra


Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2008
Tebal : XVIII + 534 Halaman 20,5

Ini adalah kisah heroik kenangan 11 anak Belitong yang tergabung dalam "Laskar Pelangi": Syahdan, Lintang, Kucai, Samson, A Kiong, Sahara, Trapani, Harun, Mahar, Flo dan sang penutur cerita – Ikal. Andrea Hirata, yang tak lain adalah Ikal, dengan cerdas mengajak pembaca mengikuti tamasya nostalgia masa kanak-kanak di pedalaman Belitong yang berada dalam kehidupan kontras: kaya dengan tambang timah, tapi rakyatnya tetap miskin dalam kesehariannya.

Ini adalah cerita tentang semangat juang menyala-nyala dari anak-anak kampung Belitong untuk mengubah nasib melalui sekolah, yang harus mereka dapat dengan terengah-engah. Sebagian besar orang tua mereka lebih suka melihat anak-anaknya bekerja membantu orang tua di ladang, atau bekerja menjadi buruh kasar di PN Timah, daripada sekolah yang tak jelas masa depannya.

Derita sekolah itu tergambar jelas ketika SD Muhammadiyah di kampung miskin itu terancam tutup kalau murid baru sekolah itu tidak mencapai 10 orang. kesebelas anak itulah yang telah menyelamatkan masa depan suar pendidikan yang hampir redup digilas ekonomi.

Kesebalas anak itu memiliki keunikan masing-masing. Diantara 11 anak Laskar Pelangi itu, Lintang dan Mahar adalah 2 diantara yang paling menonjol. Lintang jenius dalam bidang eksakta, Mahar ahli di bidang seni budaya. Mereka seolah mewakili otak kanan dan otak kiri manusia. Lintang memiliki semangat juang yang tiada tara dalam belajar. Dia rela menempuh perjalanan dengan kereta angin sejauh 80 km pergi pulang demi dapat memuaskan dahaga ilmu pegetahuan. Saking semangatnya hingga akan tercium karet terbakar dari sepatunya yang aus digerus pedal sepeda. Jika ada aral melintang di jalan dan terlambat sampai sekolah, tiada masalah baginya, asal dapat menyanyikan lagu "Padamu Negeri" pada akhir jam pelajaran.

Novel Laskar Pelangi penuh dengan taburan wawasan yang luas bak samudra dari penulisnya yang paham betul tentang ilmu eksakta, seni budaya, dan humaniora. Kita akan dibuat tersenyum geli dari humor kecil yang dilontarkannya, terharu dan bahkan menangis ketika membaca kisah heroik kesebelas anak Laskar Pelangi.

Filicium adalah pohon yang menjadi saksi seluruh drama kehidupan Laskar Pelangi. Pohon itu menaungi sekolah mereka yang hampir roboh. Pohon itu menjadi markas setiap pertemuan mereka: membicarakan soal-soal di sekolah, merancang karya untuk festival 17 Agustus, atau tempat Lintang memberi kuliah tentang ilmu fisika. Pohon itu pulalah yang menjadi saksi kerinduan Ikal pada gadis manis keturunan cina, anak pemillik toko Sinar Harapan yang memiliki jari lentik dan kuku cantik.

Anak-anak Laskar Pelangi itu hidup dalam kebahagiaan masa kecil dan menyimpan mimpi masing-masing untuk hari esok. Tapi siapa yang sanggup melawan sang nasib? Dua belas tahun kemudian, Ikal menyaksikan perubahan nasib teman-temannya yang sungguh diluar dugaan. Sang nasib sungguh menjadi sebuah misteri yang maha gelap. Anak-anak Laskar Pelangi itu boleh punya cita-cita setinggi langit, tapi nasib jualah yang menentukan episode kehidupan mereka selanjutnya. Sang nasib bisa jadi adalah ketiadaan kepedulian pemerintah akan bibit-bibit unggul mutiara anak bangsa yang harus terhempas oleh himpitan ekonomi. Mereka adalah anak-anak harapan bangsa yang terpaksa harus tunduk oleh gilasan nasib yang semestinya bisa diupayakan oleh pemerintah yang punya amanah dan kuasa untuk memajukan pendidikan.

Lintang, sang jenius itu misalnya kini harus terpuruk jadi sopir tronton karena harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi pengganti ayahnya. Tapi Lintang punya jawaban, " jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak jadi nelayan…." Bagi Ikal, kata-kata itu semakin menghancurkan hatinya, ia marah, kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Ia mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.

Keunggulan Novel
Kekuatan novel ini terletak pada sentilan humaniora tentang pentingnya pendidikan sekolah dan sekaligus kuatnya moral agama. Novel ini wajib baca bagi generasi muda yang terlena dengan gelimang kemudahan ekonomi dan tak lagi kenal jerih payah untuk menggapai masa depan. Novel ini juga wajib baca bagi para pendidik, bagi pemerintah yang selalu alpa pada pentingnya pendidikan. Buah dari kealpaan itu diantaranya adalah, kini kita menjadi bangsa yang sering menjadi bahan olok-olok oleh bangsa lain, karena kita rajin mencetak manusia yang tak punya kualitas.

Dapat menjadi cerminan pembaca agar dapat mengambil contoh betapa pentingnya pendidikan untuk meraih cita-cita. Dapat memicu pembaca agar tetap semangat dan berjuang untuk meraih prestasi guna memajukan bangsa agar lebih baik. Terdapat nilai yang patut untuk dicontoh agar menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Memberitahukan kepada kita bahwa guru benar-benar seorang pahlawan yang tanpa tanda jasa demi mencerdaskan anak didiknya dan selalu memberikan yang terbaik.

Kelemahan Novel
Kelemahan novel ini, menurut saya, hanya terletak pada cara mengakhiri cerita. Semestinya, novel ini sudah ditutup pada bab 33: Anarkonisme, yang menceritakan kejatuhan Babel (Bangka Belitung) yang dulu bergelimbang Timah. Bab 34: Gotik, menurut saya menjadi ekor cerita yang membingungkan. Karena penutur "Aku" secara tiba-tiba menjadi orang lain, dan bukan lagi Ikal. Bab 34 ini menjadi sebuah kemubaziran. Sama persis seperti seorang pelukis yang seharusnya berhenti menguaskan catnya pada bidang lukis yang sudah sempurna, tapi kemudian menjadi berantakan karena sebuah goresan yang tidak perlu.

Kata-kata yang digunakan kurang menunjukan bahwa tokoh adalah seorang anak, yang seharusnya tiak melakukan kewajibannya untuk membantu pamannya.

Mengapa tokoh ikal di dalam cerita tidak berkesinambungan dengan isi novel yang lainnya. Seharusnya bisa digunakan nama yang lainnya.

Kesimpulan
Dari novel yang di buat oleh Andre Hirata ini, saya dapat mengambil beberapa pelajaran hidup yang penting, salah satunya kita harus benar-benar menghargai hidup, menghargai semua pemberian Tuhan, tidak pantang menyerah bila menginginkan sesuatu, dan tidak ada yang tidak mungkin asalkan kita mau dan berusaha. Dan satu lagi, pintar tidak menjamin kita untuk selalu sukses, seperti cerita pada tokoh lintang, dia anak yang pintar, namun diakhir cerita dia menjadi seorang supir truk, disini saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa semua kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan. Semua yang kita kerjakan tidak lepas dari campur tangan Tuhan.

Sumber: Dinova Putra

Kisah 47 Ronin - John Allyn



KISAH 47 RONIN
@h_tanzil


Judul : Kisah 47 Ronin
Judul Asli : The 47 Ronin Story
Penulis : John Allyn

Penerjemah : Teresa Dewi
Penerbit : Matahati
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : 311 halaman
Harga : Rp. 47.000,-

Kisah 47 Ronin karya John Allyn adalah fiksi sejarah yang ditulis berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi di Negara Matahari Terbit. Sejarah mencatat, pada tahun 1703, empat puluh tujuh ronin yang dipimpin oleh Ōishi Kuranosuke Yoshitaka menyerang rumah kediaman pejabat tinggi istana Kira Kōzuke no Suke Yoshihisa guna membalas dendam kematian majikan mereka yang bernama Asano Takumi no Kami.

Ronin adalah sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya di zaman feodal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya ketika tuannya mati, atau akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai samurai, karena samurai adalah "pelayan" bagi sang tuan. Dalam tradisi samurai, ronin memiliki derajat dibawah samurai. Bagi seorang ronin hanya ada dua pilihan, yaitu menjadi orang bayaran atau turun pangkat dalam kemiliteran.

Ada banyak kisah pembalasan dendam ronin terhadap kematian tuannya, namun yang paling terkenal dan menjadi legenda nasional Jepang adalah ‘Kisah 47 Ronin’. Di Jepang sebelum Perang Dunia II, kisah ini umum dikenal sebagai Akōgishi (Perwira Setia dari Ako) dan dijadikan teladan kesetiaan samurai terhadap majikannya. Seusai Perang Dunia II, kisah ini lebih dikenal sebagai Akō rōshi (ronin dari Akō) atau Shijūshichishi (47 samurai). Kisah ini kemudian ditulis kedalam sebuah novel oleh penulis Jepang Osaragi Jirō yang kemudian diangkat menjadi drama televisi. Selain itu kisah kepahlawan ini kerap dipentasakan di teater tradisional Jepang (Kabuki).

Di dunia barat kisah ini dikenal dengan sebutan Forty-seven Ronin atau Forty-Seven Samurai. Walau fakta sejarahnya jelas, namun keterangan rinci tentang peristiwa ini sangat kabur. Kisah ini memiliki berbagai versi dan sudut pandang. Salah satunya versi John Allyn, yang mengangkat kisah 47 ronin kedalam sebuah novel yang cetakan pertamanya terbitkan pada tahun 1970.

Dalam novelnya John Allyn menulis kisah ini dengan sudut pandang Oishi sebagai tokoh sentralnya. Allyn memulai novelnya dengan mendeskripsikan situasi di Jepang di di awal abad ke-18, dimana Istana Shogun marak dengan pameran kemewahan, korupsi, serta pesa pora. Kesenian berkembang dengan pesat, kelas pedagang semakin berkuasa sehingga pengaruh prajurit dan samurai mulai berkurang. Saat itu diterapkan pula Undang-undang Pelestarian Hidup yang melarang mahluk hidup (termasuk binatang). Hal ini merugikan petani karena tak seorangpun diperbolehkan membunuh binatang termasuk binatang hama. Hasil bumi menjadi merosot sehingga membuat Jepang di tepi jurang kehancuran ekonomi.

Dalam situasi seperti inilah Lord Asano, seorang daimyo dari Ako yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Shogun diundang ke Istana Shogun Tsuyanoshi untuk menghadiri upacara kenegaraan. Lord Asano adalah samurai sejati. Ia tak suka dengan kemewahan upacara istana, namun sebagai seorang daimyo yang setia terhadap Shogun Tsunayoshi ia tetap menghadirinya.

Kira, seorang pejabat istana betindak sebagai Pemimpin Upacara untuk semua acara di istana. Ia dikenal sebagai pejabat yang korup dan memanfaatkan jabatannya untuk mengambil keuntungan bagi siapa yang berhubungan dengannya. Lord Asano membenci Kira, begitupun Kira menganggap Lord Asano adalah samurai sejati yang jujur dan dididik dengan cara lama sehingga menjadi ancaman bagi gaya hidupnya.

Ketika upacara berlangsung Kira menghina Lord Asano. Tersinggung dengan ucapan Kira, Asano menyerang Kira hingga terluka. Akibatnya Asano ditangkap dan dipaksa melakukan seppukku, mati dengan merobek perut sendiri dan diakhiri dengan kepala yang terpancung. Setelah itu kastil dan wilayah kekuasaan Asano di Ako harus diserahkan pada Shogun. Para pengikut Lord Asano yang dipimpin oleh Oishi tak menerima kematian yang menimpa pemimpinnya. Otomatis mereka menjadi Ronin dan segera berkumpul untuk membalas dendam. Saat itu terkumpul sekitar 300 ronin.

Namun Oishi tidak larut dalam emosi dan gegabah mengambil tindakan, dan lagi undang-undang melarang perbuatan balas dendam. Ketika teman-temannya memilih untuk mempertahankan kuil Asano dan segera membalas dendam kematian pemimpinnya, dengan kepala dingin Oishi memilih untuk patuh pada Undang-undang. Membiarkan kuil diambil alih secara damai sambil mengajukan petisi kepada Shogun untuk menuntut keadilan.

Waktu berlalu tanpa ada kejelasan atas petisi tersebut. Para Ronin hidup secara terpisah dan menjalani aktifitasnya masing-masing. Oishi sendiri hidup bersama seorang geisha dan selalu berada dalam intaian mata-mata Kira. Dua tahun berlalu sejak kematian Lord Asino, saat pembalasan dendam para Ronin untuk membela kehormatan pemimpinnya akhirnya tiba. Setelah melalui ujian waktu dan kesabaran , Oishi berhasil mengumpulkan kawan-kawannya, namun jumlah ronin yang memiliki tekad untuk membalas dendam kematian Asano semakin menyusut hingga akhirnya hanya 47 Ronin yang tersisa dan bersumpah uintuk melakukan balas dendam yang kelak akan dikenal sebagai peristiwa balas dendam paling berdarah dalam sejarah kekaisaran Jepang.

Novel ini ditulis dengan menarik, sedari awal pembaca akan dibawa pada satu pertanyaan besar, berhasilkan ke 47 ronin membunuh Kira yang menyebabkan kematian pemimpinnya ?. Bagi mereka yang mengetahui sejarah Jepang tentu saja ini bukan pertanyaan karena sejarah telah mencatat bagaimana akhir dari peristiwa berdarah ini. Namun kisah ini tetap menarik karena seperti diungkap diatas banyak sekali versi dari kisah ini, dan pembaca yang ‘melek’ sejarah tetap akan dibuat penasaran bagaimana kisah ini menurut versi John Allyn. Sehingga bagi siapapun novel ini tetap menarik dan menggiring pembacanya untuk segera sampai pada halaman terakhir.

Sayang profil John Allyn, tak terdapat dalam buku ini. Siapa John Allyn dan darimana ia memperoleh sumber-sumber untuk menulis novelnya ini ? Jika memang dalam buku yang menjadi sumber terjemahan novel ini tak ada keterangan apapun tentang penulisnya, tentunya penerbit bisa mencarinya dari sumber-sumber lain.

Selain itu yang agak disayangkan, buku ini tak menyertakan peta dimana kejadian ini berlangsung. Padahal dengan adanya sebuah peta, pembaca akan lebih memahami isi novel ini terutama dari segi geografisnya. Misalnya pembaca akan lebih mengetahui dimana Ako tempat Oishi dan Lord Asano berasal, berapa jauh letaknya dari Edo. dll.

Terlepas dari kekurangan di atas, novel ini sangat layak dibaca oleh siapapun yang ingin mengetahui sepenggal sejarah Jepang. Walau tema utama novel ini adalah balas dendam, bukan berarti novel yang kental dengan aroma sejarah ini sarat dengan kekerasan. Tebasan tajamnya pedang samurai/ronin hanya akan ditemui di awal dan akhir novel ini.

Diantara bagian itu pembaca akan disuguhi aneka peristiwa yang memperkaya pembacanya baik dari sejarah, kultur kekaisaran jepang di awal abad ke 18, semangat kesatriaan para samurai / ronin dalam menegakkan kehormatan, kesetian dalam pengabdian, kesabaran dan strategi dalam menghadapi musuh, dll. Semua itu mewarnai novel ini sehingga tak heran Prof. Dr. I. Ketut Surajaya dalam endorsmentnya mengatakan bahwa buku ini akan memberikan pesan moral yang baik bagi pembacanya tentang kesabaran, kesetiaan, dan pengorbanan yang ditegakkan melalui ajaran Bushindo.

Di tengah serbuan novel-novel terjemahan berlatar negara-negara barat, tampaknya kehadiran novel-novel dengan setting Asia atau Jepang akan membawa angin segar dan pilihan yang lebih beragam bagi para pembaca buku tanah air. Dan jangan lupa seperti karakteristik novel-novel berlatar sejarah Jepang lainnya (Musashi, Klan Otori, dll), novel ini mengandung muatan filosofis yang tinggi. Hal yang perlu dibaca dan dicerna oleh pembaca buku di indonesia.

Sumber: h_tanzil

Sperma Airmata - Tandi Skober





LUKA KULTURAL DALAM SPERMA AIRMATA

Pungkit Wijaya



Judul: Sperma Airmata
Penulis: Tandi Skober
Penerbit: SkylArt Publisher
Tahun: 2012

Danarto, sempat berujar bahwa “saya percaya, tema dan jalan cerita bukanlah yang terpenting. Yang paling utama dari cerita pendek adalah cara bertutur yang memikat” kepercayaan Danarto sebagai cerpenis kenamaan sastra Indonesia tersebut diungkapkannya dalam kata pengantar buku kumpulan cerita pendek Hanna Fransisca, Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina: 2012. 

Maka, jika bertolak dari kepercayaan Danarto tersebut, setidaknya dalam membaca cerita pendek, kita sebagai bagian dari sidang pembaca akan sepakat dengan persoalan gaya tutur. Seorang cerpenis memiliki gaya tutur yang berbeda-beda untuk menyusun sebuah kelengkapan cerita. 

Tak pelaknya akademisi sastra Maman. S Mahayana dalam bukunya Bermain Dengan Cerpen: Apresiasi dan kritik Cerpen Indonesia: 2006 mengatakan “setiap karya sastra mesti dilakukan secara khas dan unik, dunia imajinatif yang digambarkan dalam karya sastra tertentu. Ia mesti ditempatkan secara berbeda dari karya sastra lain. Setiap pengarang mempunyai pandangan, ideologi, sikap, persepsi, dan style yang berbeda dari pengarang lain.” 

Dengan demikian ini menegaskan kedatangan kumpulan cerita berjudul Sperma Airmata: 2012 yang ditulis oleh Tandi Skober, pula diterbitkan SkylArt Publisher, sebuah penerbit “indie” yang berada di Bandung. Dalam buku kumpulan cerita tersebut terdapat 22 judul yang berkisar seputar ruang gerak kultural dan narasi gugatan dalam sayup-sayup luka yang masih memberat. 

Sperma Airmata menjadi judul yang khas dalam buku ini, ada dua frasa yakni sperma dan airmata, mungkinkah ini penegasan frasa metaforik dari keseluruhan isi cerita dalam buku Tandi Skober itu? Meskipun sama-sama berwujud cair, namun “muncratanya” bisa berbeda. Dalam narasi pertama ada gugatan yang terus lekat: 

“Menjadi anak haram sejarah Indonesia di zaman yang gagap pada titik terjauh cuma bisa tiarap,” itu catatan pacar pertama saya, Mun, pada Oktober 1969. (hal 1). 

Paragraph pertama dalam cerita berjudul Sperma Airmata itu ternyata kabarkan kelam, penggunaan subjek saya (orang pertama) sebagai narrator membuat cerita terkesan sederhana atau meruang, berbeda dengan subjek kata “aku” misalnya, meskipun dalam setiap alur ceritanya berlompatan, berlarian menuju suasana yang getir. 

Tokoh Mun, menjadi semacam halusinasi yang terus terbayang, menjadi tokoh nyata dan imajiner dalam ruang cerita. “Mun? hmm, laut pun melipat ombak yang mabuk. Saya dan Mun bermandi dinding pasir Cirebon. Bergumul lumpur, bercahaya purnama yang telanjang. Nelayan menulis nasib dilembaran angin selatan. “ternyata Indoensia tercipta dari serpihan muram yang rapuh ketika Tuhan gagal ciptakan hantu pancasila.” (hal 2). 

Dalam narasi itu suasana yang bergerak dari ruang lokalitas pesisir Cirebon yang terkenang, sejumlah letupan dan gugatan menjadi penting dalam cerita tersebut. Harapan berkelindan dalam cerita ini “menjadi anak haram Indonesia kudu bisa mematikan hasrat. Tidak menjadi anak panah yang melesat dari busur risau yang rapuh.” (hal 4). 

Rekontruksi Peristiwa 
Tandi Skober, dalam kumpulan cerita ini seperti menyiratkan luka kultural yang diasumsikan kepada sejumlah tokoh yang hadir dalam ceritanya. Nuansa kebangsaan dalam gerak tuturan, pula ada beberapa tokoh yang menerima, sembari mencaki maki rentan waktu yang sudah lewat. Dalam Burung Nazar di Ujung Bendera 

“Indonesia, ini cerita saya tentang sesekor burung nazar. Tiap kali saya membuka jendela saat subuh, selalu saja saya lihat burung nazar di ujung tiang bendera yang melengkung. Mata tajam burung bangkai itu bagai pisau yang membedah ruang kerja saya.” (hal 19) 

Bagi Tandi Skober, luka itu mungkin dikabarkan dalam bentuk narasi. Sejumlah amatan yang tentu saja menyebabkan para tokoh ceritanya hanya bisa berharap, sesekali ingin menjahit luka itu, luka yang menganga di rahim Indonesia. Pada sisi lain, literasi Cirebon, Medan dan Indramayu hadir dalam cerita pendek itu, bahasa Cirebon terutama mengiringi sejumlah catatan suasana perjalanan yang telah dilalui Tandi. Ada sejumlah rentetan bahasa Cirebon dan Indramayu yang menjadi penting untuk dibaca. Benjing amenaging kela kali asat, ana eksor molor jor-joran, sumur murubi sagara, wong dawur dadi umbul-umbul, wong cilik tengak-tengul nydoti umbel, mila nyuwuna estu, supadi dadi negeri tan negeri, wis sigra rainira lurua turuk, nganggo amangku Dermayu. (Kelamin yang Kelam, hal 93) 

Selain mitologi dari Indramayu yang hadir disela-sela cerita. Kelebihan Tandi Skober terbentangnya pengetahuan mitologi yang ia ketahui memperkaya efek fiksi dan berkelindan dengan suasana hari ini, lekatnya imajinasi cerita mitos dikontekstualisasikan juga rekonstruksi peristiwa dalam buku ini. Seperti halnya cerita wayang. Berbeda halnya apabila dibandingkan dengan kumpulan novelnya yang berjudul Namaku Nairem:2012 yang juga berbarengan diterbitkan pada tahun ini. 

Suara Satire 
Membaca kumpual cerita ini, setidaknya narasi obrak-abrik yang dipakai Tandi Skober. Di usianya yang sudah “Aki” meminjam kata dalam cerita pendek Idrus, sebagai cerpenis sekaligus esais yang tulisannya selalu mencampur adukan nuansa imajinasi, parodi yang berujung pada suara satire. Terlebih dalam ihwal menulisnya, sangat sulit membedakan esai atau cerita pendeknya. Mungkin Tandi Skober hendak menolak mitos gaya tutur menulisnya itu, sejauh pembacaan cerita dalam 22 judul di buku ini, ada yang menekankan makna tekstual dan makna refenesialnya, Paul Ricoeur menyebutnya sebagai event-meaning dialectics atau dialektika makna-peristiwa. Sebuah cerpen harus mengandung peristiwa, karena kalau tidak dia akan berubah menjadi esei atau puisi. 

Meskipun demikian, nada kritik melayang di jalur narasi dan lompatan cerita. Maka di usia lansia Tandi Skober, bukan saja menghadirkan Soeharto atau SBY dalam ceritanya namun ia tengah mengobrak-abrik sejarah masa silam bangsa ini. Narasi itu, kian lekat dalam ingatan, menempel dalam realitas hingga pada batas tertentu, ada suara lain yang selalu bergemuruh, berkecamuk namun bergerak menuju alunan sayup. Ruang imajinasi dan memori personal yang saling silang. 

Menariknya ditengah suasana gemuruh, senyap-lenyap, Sperma Airmata hadir ditengah letupan galau. Dalam cerita Tandi Skober, gaya tutur itu menjadi khas dalam nuansa tema kritik sosial yang berbentuk parodi. Adakalanya kejujuran bagi Tandi sebagai tokoh aku dalam cerpen berjudul Cerpen Tandi yang Tidak Dimuat Dikoran: 

“Lihat saya Yudhoyono! Saya maklumatkan perlawanan metafisika! Saya adalah edan yang mengendap-endap di antara mesin-mesin raksasa peradaban dan rasionalitas ego yang gagap saya adalah edan yang terlempar pada kesunyian gulita. Terjerembab pada jaring-jaring kekuasaan.” (hal.119) 

Selain gugatan dan satire terhadap bangsa yang memuncratkan sperma airmata. Tandi sedang menawarkan estetika guyon dalam suasana di taman lansia, konon di taman lansia itu para “Aki” senang bermain-main dengan daya imajinasi yang bangka. 

Pungkit Wijaya, Bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung 

Inferno (Neraka) - Dan Brown




KARYA SASTRA YANG NYARIS SEPERTI KITAB SUCI
Saladbowldetrois


"Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral."

Robert Langdon terbangun di sebuah rumah sakit di Florence dengan keadaan kepala berjahit dan amnesia cukup parah. Langdon kehilangan ingatan jangka pendeknya yang merupakan alasan mengapa ia bisa tiba di Florence dengan keadaan seperti itu.

Dalam keadaan cukup panik, Langdon juga dikejutkan dengan kenyataan bahwa dirinya juga dijadikan target oleh seorang pembunuh bayaran serta sepasukan lengkap berseragam hitam milik pemerintah. Dengan bantuan seorang dokter yang bernama Sienna, Langdon pun mengetahui bahwa dirinya membawa suatu benda yang menjadi kunci dari seluruh perjalanan anehnya ini.

Benda itu berbentuk stempel kuno yang memberikan sebuah petunjuk, dimana seluruh rangkaian kejadian ini berhubungan dengan salah satu mahakarya terhebat yang pernah diciptakan. Rangkaian puisi karya Dante Alighieri yang berjudul Inferno (neraka).

Tak jauh dari rumah sakit tempat Langdon dirawat, enam hari yang lalu ditemukan jasad seorang laki-laki yang disinyalir menjatuhkan dirinya dari puncak salah satu menara paling terkenal di Florence. Dan laki-laki tersebut merupakan salah satu klien terpenting dari sebuah organisasi paling rahasia di seluruh dunia, Konsorsium.

Lalu apa hubungan antara pemerintah denga organisasi tersebut? Dan bagaimana Langdon pada akhirnya mampu mengetahui arti dibalik semua petunjuk yang diberikan oleh stempel kuno tersebut?

Buku terbaru karya Dan Brown ini sekali lagi menawarkan penulisan yang sangat sangat sangat Dan Brown sekali. Semua alur,cara pengenalan tokoh-tokohnya, konflik yang ditawarkan hingga cara pemecahannya.

Bagi yang sudah pernah membaca The Da Vinci Code maupun Angel & Demon pasti akan mengetahui apa yang aku maksud dengan ‘khas’ Dan Brown tersebut. Sebenarnya hal ini cukup membuat agak sedikit bosan di awal, namun sekali lagi buku ini masih sangat menarik untuk diikuti.

(Apa mungkin aku bias ya? Hahahaha)
Inferno sendiri adalah bagian pertama dari mahakarya seorang penyair besar yang bernama Dante Alighieri yang berjudul The Divine Comedy (Komedi Ketuhanan). Sedangkan bagian kedua berjudulPurgatorio (Penebusan) dan bagian ketiga berjudu Paradiso (Surga).

Meskipun berjudul komedi, namun The Divine Comedy ini sama sekali bukan karya yang berisi lelucon.Komedi di sini lebih diartikan karena Dante menuliskannya dengan bahasa Italia modern atau lebih dikenal dengan bahasa rakyat.

Karena pada jaman itu, semua karya yang menggunakan bahasa modern akan dianggap kurang sopan atau dalam hal ini disebut sebagai bahasa kelas dua. Maka dari itu disebut sebagai bahasa komedi (lelucon) yang sering dipakai sehari-hari.

Namun justru dikarenakan bahasanya yang mudah dimengerti maka pesan-pesan yang disampaikan oleh buku ini menjadi sangat mudah terpatri di dalam benak setiap orang yang membacanya.

Bahkan menurut sejarahnya setelah buku ini terbit, Inferno menjadi semacam pengingat akan dosa yang harus dihindari. Dan dengan detail neraka versi Dante, banyak orang yang kemudian memilih untuk bertobat. Denga kata lain, buku ini lebih efektif mengajak orang untuk ke Gereja daripada Alkitab pada jaman itu.


The Divine Comedy ini konon katanya juga membuat Dante mendapatkan apresiasi yang mendalam dari berbagai macam seniman kelas atas. Bahkan pembuat patung David yang tersohor itu juga ikut menuliskan pendapatnya akan penyair tersebut.

Tidak pernah ada di dunia, orang yang lebih hebat daripada dia.
-Michelangelo

Dante hidup di Florence, Italia dari tahun 1265 sampai dengan tahun 1321. Kehidupan Dante sendiri sebenarnya sangat normal seperti layaknya orang kebanyakan, hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita bernama Beatrice Portinari yang menjadi cinta matinya seumur hidup dan inspirasi utamanya. Sayangnya cinta Dante bertepuk sebelah tangan karena Beatrice pada akhirnya menikah dengan pria lain.

Inferno adalah bab yang menceritakan perjalanan Dante ke sepuluh tingkat neraka. Dalam karyanya, Dante memakai tiga nama wanita, Virgil, Maria dan Beatrice. Dalam perjalanan ke neraka, Dante ditemani oleh Virgil. Sedangkan perjalanan penebusannya Dante di temani oleh Maria dan dalam perjalanan ke surga ia ditemani oleh Beatrice.

(Pas tau hal ini jujur aku mikir: oh ternyata Dante juga manusia, dia bisa galau, terbukti pas ke surga aja dia bayanginnya sama Beatrice. Ya semacam kata Fadli PADI: meskipun aku di surga… tetap ku tak bahagia, karena itu tanpamu… )

Interpretasi Inferno karya Dante ini kemudian dituangkan oleh salah satu seniman besar yang bernama Botticelli yang melukiskan bagaimana gambaran tingkatan neraka versi Dante. Lukisan yang terkenal dengan nama La Mappa dell’Inferno atau dalam bahasa Inggris disebut dengan: Map of Hell.

Map of Hell karya Botticelli ini digambarkan sebagai irisan-melintang di bumu denga lubang besar berbentuk corong yang kedalamannya tak terhingga. Lubang neraka ini dibagi menjadi teras-teras menurun dengan penderitaan yang semakin hebat. Setiap tingkat dihuni oleh masing-masing jenis pendosa yang tersiksa.

Adapun tingkatan dosa itu diambil dari mnemonik Latin yang diciptakan oleh Vatikan pada Abad Pertengahan untuk mengingatkan umat Kristiani pada Tujuh Dosa Besar. Disingkat dengan nama SALIGIA yang berarti Superbia (kesombongan), Avaritia (keserakahan), Luxuria (hawa nafsu),Invidia (kecemburuan), Gula (kerakusan), Ira (kemarahan) dan Acedia (kemalasan).

(Mungkin karena aku muslim, daripada gambaran Inferno ini buat aku lebih serem buku-saku-siksa-neraka-yang-dulu-terbit-jaman-tahun-90an-itu >_< dan dalam Islam, tujuh dosa besar ini juga termasuk dalam kategori dosa =_= semua agama itu pada hakikatnya selalu mengajak kearah yang benar ^^)

Seperti sebelumnya, kali ini Dan Brown juga mengajak pembacanya untuk menelusuri berbagai macam karya seni yang ada di dunia. Untuk Inferno kali ini, para pembaca akan diajak untuk berjalan-jalan dalam imajinasi di kota tua Florence, Venesia dan berakhir di Turki.

Yang pertama adalah Gerbang Porta Romana yang di jelaskan di Bab 20. Gerbang ini dibangun pada tahun 1320 dan pernah dijadikan sebagai tempat Bazar Kontrak atau Fiera dei Contratti. Dimana pada jaman itu para orang tua seringkali memaksa anak-anak perempuan mereka untuk kawin kontrak dan mendapatkan mas kawin yang tinggi.

Di dalam buku, gerbang ini merupakan tempat pertama dari pelarian Langdon bersama Dokter Sienna ketika dikejar oleh pembunuh bayaran.

Di bab 21, para pembaca akan bertemu dengan dengan lukisan karya seniman Vasari yang dibuat pada tahun 1563 dan tergantung di Palazzo Vecchio, Florence. Lukisan ini menyimpan misteri akan arti kata Cerca Trova (cari dan temukan) yang hanya bisa dilihat dengan memakai binocular(teropong). Kata-kata inilah yang menjadi inspirasi Langdon pertama kali akan misteri yang ia pecahkan.

Bab 27 akan banyak menceritakan tentang istana keluarga Medici. Keluarga bangsawan kaya raya yang berjaya hingga empat abad namun pada akhirnya harus mengangalami kebangkrutan di akhir tahun 1700 atau abad ke delapan belas.

Istana keluarga Medici menjadi tempat persembunyian Langdon ketika dikejar oleh para tentara berseragam hitam. Mulai dari Institut Seni, Boboli Garden dan pada akhirnya bersembunyi di gua buatan.

Bab 37 menceritakan tentang kunjungan Langdong ke Palazzo Vecchio. Memasuki The Hall of Five Hundred, berjalan terus ke arah Lo Studiolo untuk bisa melihat secara dekat muka asli Dante Alighieri yang tercetak dalam topeng kematiannya sendiri. Dengan menemukan topeng kematian Dante, pada akhirnya satu persatu misteri mulai terkuak.

Bab 51 akan mengajak pembaca ke dalam Museo Casa Di Dante kemudian berlanjut ke rumah suci Chiesa atau yang lebih dikenal dengan nama Gereja Dante yag terletak di Santa Margherita dei Cerchi.

Pada Bab 53 para pembaca akan bertemu dengan pusat spiritual kuno di Florence, yaitu Katedral Santa Maria del Fiore atau yang lebih dikenal dengan julukan Il Duomo.

Bab 72 pembaca akan bertemu dengan Basilika Santo Markus dengan keempat patung kuda perunggunya yang merupakan salah satu hasil dari jarahan saat perang salib berlangsung.

Disinilah pada akhirnya Langdon benar-benar memahami semua misteri yang dimaksud. petunjuk-petunjuk yang pada akhirnya membuat ia sadar bahwa terjadi kekeliruan dalam pemikirannya.

Kuda perunggu Santo Markus. Kalung leher yang dipakai oleh kuda disinyalir sebagai penyangga kepala Kuda yang sengaja di potong agar mudah di bawa di dalam kapal saat dibawa kembali ke Venesia

Kemudian perjalanan di lanjutkan ke negara tempat persimpangan timur dan barat berlangsung. Negara sekuler dimana semua kepercayaan barat dan timur bisa berdiri bersebelahan.

Perjalanan ke Istanbul, Turki yang pertama adalah melewati Blue Mosque, kemudian Hagia Sophiadan berhenti pada waduk kuno Yerebatan Sarayi (Istana yang Tenggelam).

Sama seperti buku terdahulunya, Dan Brown selalu berhasil menggabungkan apa yang menjadi issue yang sekarang lagi marak dibicarakan dengn hal-hal yang berkaitan dengan symbol dan sejarah. Membuat para pembacanya seakan-akan benar mempercayai bahwa apa yang tertulis di situ adalah benar adanya.

Saking tipisnya perbedaan antara fiksi dengan fakta yang disajikan, kita sebagai pembaca harus benar-benar jeli. Namun untuk buku Inferno kali ini perbedaanya masih bisa diketahui. Karena issue yang dibahas itu sangatlah bertolak belakang dengan karya sastra Dante yang menjadi patokan.

Buat aku pribadi, menghabiskan 639 halaman dalam lima hari itu termasuk cukup panjang. Kenapa? Karena ya seperti yang aku bilang di awal menurutku ini agak sedikit cukup bertele-tele. Ditambah dengan beberapa istilah yang membuat aku harus membacanya berulang-ulang baru bisa aku cerna.

Ya ditambah waktu kerja yang selalu sampai malam, jadi bacanya juga curi-curi waktu. Dari segi terjemahan menurutku ini bagus. Tidak membuat bingung dan bisa dibaca dengan mudah. Istilahnya tidak membuat orang berfikir untuk membaca versi aslinya karena bingung akan bahasa terjemahan yang dipakai.

Yang paling aku suka adalah di bagian akhirnya, dimana diselipkan banyak sekali pemikiran mengenai issue yang dibahas. Pembaca diajak untuk ikut lebih peka terhadap hal-hal disekitar terutama untuk daerah abu-abu kehidupan. Lalu mengenai teori penyangkalan serta hal-hal yang memang menjadi polemik tersendiri hingga saat ini dan dapat dijadikan sebagai sebuah renungan.

Mengenai teori apa yang dibahas atau konsep apa yang dipakai dalam buku ini sebenarnya aku pengen banget buat jelasin, tapi aku pikir itu akan menjadi spoiler yang tidak terbantah. Karena justru itu yang menjadi kunci dari misteri yang dibahas dalam buku ini, jadi lebih baik bila dibaca sendiri hehehe.

Yang pasti Dan Brown juga mengaitkan cerita ini dengan wabah hitam atau yang lebih dikenal dengan The Black Death. Wabah ini terjadi pada tahun 1348 ~ 1350 dan menewaskan 75 ~ 200 juta warga Eropa, atau sekitar hampir 60% populasi.

Seperti biasa, Brown juga tetap menyelipkan karakter Langdon yang memang diceritakan seorang Darwinian. Atau seseorang yang lebih meyakini fakta daripada sebuah keyakinan akan agama. Meskipun pekerjaan Langdon adalah seorang ahli simbol yang rata-rata selalu berkaitan dengan simbol keagamaan.

Dari sini banyak pembaca setia Brown yang secara tidak langsung meyakini bahwa Brown sebenarnya ingin menunjukkan sedikit pembangkangan terhadap Vatikan. Yang mana sudah ia lakukan semenjak jaman kontroversi akan sifat keilahian Yesus dalam buku The Da Vinci Code.

Kesimpulannya buku ini sangat direkomendasikan buat yang suka fiksi sejarah. Hanya saja aku berharap Dan Brown dikedepannya bisa membuat yang setara dengan The Da Vinci Code. Namun paling tidak dengan harga seratus dua puluh lima ribu aku bisa menutup buku dengan puas untuk kali ini.

Last, kutipan pembuka di atas adalah kunci dari seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi. Dimana jika di telaah lebih lanjut kalimat itu akan berbunyi:

Dalam masa berbahaya (krisis) tidak ada dosa yang lebih besar daripada tetap diam.